Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Freelancer - Rahmatullah Safrai

Penikmat kopi di ruang sepi penuh buku || Humas || Penulis Skenario Film || Badan Otonom Media Center DPD KNPI Kota Cilegon

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Carut Marut Pasar Kranggot Cilegon hingga Dugaan Praktik Korupsi

14 Oktober 2020   17:42 Diperbarui: 14 Oktober 2020   18:09 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aliran sungai Pasar Kranggot penuh sampah (Foto Dedy)

Perkenalan saya dengan Pakde serasa membuka realita kehidupan Pasar Keranggot Cilegon yang penuh carut marut.

Katanya, Pasar Keranggot menjadi pasar traditional terbesar di Asia Tenggara. Namun besaran luas pasar tidak sebanding dengan pengelolaan yang berkelas.

Pakde menceritakan jika saat ini Pemerintah Kota Cilegon tidak bisa mengelola pasar dengan baik. "Pasar ini semerawut, gak keurus, dan semaunya," kata Pakde yang sudah berjualan di Pasar Kranggot sejak awal berdiri.

Beberapa persoalan klasik yang tidak bisa ditangani adalah penertiban pedagang. Pemerintah sebenarnya sudah membuat auning yang lokasinya masuk ke dalam pasar. Namun, para pedagang memilih meninggalkan auning dan pindah ke depan, yaitu berderet di pinggir jalan.

"Ini sebenaranya pembuatan auning yang tidak tepat. Pedagang kemudian memilih maju ke depan pasar, itu karena jika di auning tidak ada orang datang mau beli. Akses jalan kotor membuat banyak orang malas datang," kata Pakde.

Sekarang anggaran pembangunan auning jadi sia-sia, karena mementingkan proyek pembangunan tanpa adanya rencana keberlangsungan pemberdayaan pedagang.

Auning di bagian belakang pasar tidak digunakan (Dokpri/Pram)
Auning di bagian belakang pasar tidak digunakan (Dokpri/Pram)

Seiring berjalannya waktu, pedagang yang berjualan di emperan jalan pun tidak bisa ditertibkan lagi. Menambah carut marut kondisi pasar. Apalagi di pasar ini tidak ada kejelasan terkait pengelompokan jenis dagangan, sehingga semua menyatu.

Kendati demikian, setiap hari ada petugas narik iuran kepada pedagang. Bisa sampai berkali-kali dalam sehari. Artinya, meski pun melanggar aturan asalkan bayar iuran, pedagang akan tetap berjualan.

"Setiap hari pedagang ditarik iuran dua ribu rupiah. Terus aja gitu berulang-ulang sepanjang hari. Entah uangnya masuk ke mana?" kata Pakde.

Pedagang yang bebas berdagang pun kemudian menimbulkan masalah lain, yaitu sampah. Sampah sisa dagangan dilempar ke dalam sungai. Akibatnya aliran sungai penuh dengan tumpukan sampah.

"Lucu juga ketika orang dinas membuat jaring-jaring pelindung sungai yang nilai anggarannya besar itu. Jadinya sia-sia. Sampah masih bisa masuk sungai, kok, dari lubang-lubang jaring," kata Pakde Kardi.

Kesadaran pedagang memang kurang, ini karena tidak ada aturan yang jelas juga. Harusnya ada aturan semacam perda berupa denda kepada yang membuang sampah di sungai. Tidak perlu jaring, yang penting ada CCTV yang bisa melihat siapa saja yang membuang. Dari CCTV bisa kelihatan siapa yang membuang sampah ke sungai harus kena denda.

Tumpukan sampah menutup jalan pasar (Dokpri/Pram)
Tumpukan sampah menutup jalan pasar (Dokpri/Pram)

Masalah sampah tidak hanya pada aliran sungai, tapi juga terdapat penumpukan di berbagai tempat. Pengelolaan sampah yang juga buruk ini, akibatnya menimbulkan bau busuk. Pemandangan pasar jadi tidak menarik dan terkensan kumuh.

Selain sampah, penambah makin runyemnya pasar adalah ketidak jelasan adanya tempat parkir dan lalu lintas kendaraan yang bebas keluar masuk tidak sesuai dengan jalur.

Berbagai kendaraan penuh sesak di jalan, baik itu mobil ukuran besar yang sedang bongkar muatan, kendaraan pribadi dan kendaraan angkutan umum yang bebas parkir dimana saja.

Padahal fasilitas parkir sudah tersedia. Namun karena tidak ada ketegasan dari petugas yang mengatur lalu lintas, akhirnya jalan pun makin terlihat semerawutnya.

"Petugas Dishub yang tidak tegas untuk mengatur kendaraan dari  pintu masuk dan keluar. Kendaraan melawan arah pun dibiarkan. Akibatnya lalu lintas jadi macet," kata Pakde.

Dahulu sebenarnya sudah dibangun terminal untuk angkutan umum. Para sopir angkot bisa menunggu penumpang sesuai trayek perjalanan angkot. Namun sayangnya sekarang sudah tidak ada.

Sub Terminal Pasar Kranggot berubah menjadi parkiran mobil (Dokpri/Pram)
Sub Terminal Pasar Kranggot berubah menjadi parkiran mobil (Dokpri/Pram)

Hilangnya terminal ini pun mematik ingatan saya, tentang adanya praktik penggelembungan dana pembelian lahan Sub-Terminal Pasar Kranggot pada masa Wali Kota Cilegon Tb Aat Safaat.

Berdasarkan temuan BPK dan Kejaksaan Negeri Cilegon mencatat, pembelian lahan dari Ratu Ati Marliati pada Maret 2009. Dikutip dari Tempo, harga pembelian tanah naik empat kali lipat dari awal saat dibeli Ati, putri kandung Aat.

Sumber lain, Fakta Banten, menulis kasus jual beli lahan Sub Terminal Pasar Kranggot diduga terjadi penyusutan lahan dari transaksi 3.594 meter persegi menyisahkan 3.162 meter persegi.

Rupanya, lahan seluas 500 meter juga menjadi temuan Kejari Cilegon, yaitu disewahkan kepihak ketiga selama lima tahun dengan nilai kontrak Rp 25 Juta.

Sayangnya, meski pun kasus ini sudah masuk daftar penyidikan di Kejari Cilegon sejak 2012 dan sudah P21, hingga kini belum ada kelanjutan pemeriksaan yang melibatkan Calon Wali Kota Cilegon itu.

Carut marut kondisi Pasar Kranggot seperti mencerminkan buruknya perencanaan dan kinerja Pemkot Cilegon. Entah sampai kapan kondisi ini akan berakhir.

Perlu adanya terobosan pembenahan pasar yang terencana dan tepat sasaran. Jangan sampai anggaran proyek pembangunan pasar hanya akan menjadi sia-sia belaka!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun