Buku Senja di Jakarta karya Muhtar Lubis adalah yang paling saya cari saat ini. Pernah pinjam buku dan membaca sebentar, langsung jatuh cinta dengan isinya, meskipun baru dibaca sampai halaman ke 11.Â
Setelah cek di toko buku besar di dalan moll sudah tidak ada. Di toko online lumayan banyak, tapi belum tentu buku asli atau yang dijual bajakan.Â
Maka setelah melalui perjalanan dengan TransJakarata yang isinya, laillahaillallah, padat penumpang, perjalanan dari Halte Grogol berakhir di Halte Salemba UI. Dilanjutkan berjalan kaki sekitar 5 menit dengan bantuan Google Maps, sampai pada sebuah bangunan yang disebut Pasar Kenari.
Waktu perlahan menggelap diiringi sayup suara adzan. Akhirnya kesendirianku di malam minggu bisa dilewati di toko buku yang mencoba bangkit di Jakarta. Berlokasi di Pasar Kenari, Jalan Salemba Raya, Kenari, Senen, Jakarta Pusat, pasar ini cukup mudah ditemukan.
Buktinya, saya yang berasal dari Banten saja, gampang menemukan hanya berbekal Google Maps, kemudian nyasar di kawasan pertokohan yang sudah tutup, sepi, dan...
Jangan berharap pasar ini mirip dengan pusat perbelanjaan seperti moll. Saya yang datang menjelang langit menggelap, suasana angker sudah mulai tercium.
Bangunan gedung yang diisi oleh sekat-sekat toko yang tertutup pintu besi--berkarat dan kusam. Sepi dan engap. Saya kira pasar ini sudah tutup, rupanya JakBook masi tetap beroprasi hingga pukul 20.00 WIB.
Lokasinya yang berada di lantai 3, saya membayangan suasana toko buku dengan koleksi dagangan buku-buku lawas seperti massa kejayaan Kwitang dulu.
Kemudian menjadi setting lokasi film Ada Apa Dengan Cinta yang meninggalkan kesan romantis, kencan pertama Rangga dan Cinta. Nyatanya ketika masuk ke dalam lorong pertokohan Pasar Kenari, malah teringat dengan bagian film Perumpuan Tanah Jahanam.
 Ya Allah, filmnya Joko Anwar ini menghantui sekali, sampai diri ini seperti menjadi Maya (Tara Basro) saat berada di dalam pasar yang sepi dan gelap. Serem. Meskipun tidak muncul sosok setan-setanan. Tapi emang beginilah kondisi Pasar Kenari saat magrib.
Bahkan di tengah pasar, terdapat tangga yang berjalan sendiri. Bergerak berirama. Kaku. Ya, begitulah nyatanya escalator. Melewati lantai demi lantai seorang diri, hingga sampai pada lantai paling atas.
Musik mengalun dengan gaya akustik, membawakan Lagu-lagu Indie Fiersah Besari dengan khas galaunya. Bahkan saya merasa datang bukan "Di Waktu yang Tepat" seperti nyanyian yang mengalun dari pengeras suara.
Saya awali penjelajahan dengan mendatangi kios-kios kecil yang berjejer rapih. Mencari buku sastra lawas berjudul Senja di Jakarta. Tujuan utama mendatangi tempat ini.
"Pak, ada buku Senja di Jakarta, penulis Muhtar Lubis," saya langsung bertanya kepada salah seorang pedagang. Ia sejenak terdiam, meminta rekan kerjanya mengecek, hingga jawaban pun menyakitkan, tidak ada!
"Woi, ada bukunya Muhtar Lubis? Buku sastra," teriaknya kepada pedagang lainnya. Saya diarahkan menuju kios yang ditunjuknya. Di sana pun tidak menemukan novel yang saya cari, meskipun ada buku karya Muhtar Lubis lainnya.
Satu persatu kios saya sisir. Setiap saya bertanya, dijawab tidak ada, lalu si pedagang akan mencari ke kios di sebelahnya. Seperti itulah kemudian. Tidak ada persaingan rupanya. Satu pedagang dengan pedagang lain saling bersautan melayani pengunjung.
Nasib buku yang saya cari tidak seperti Rangga yang gampang banget menemukan buku AKU karya Sumanjaya di lapak Almarhum Gito Rolis.
Jadi buku yang saya cari tidak ditemukan. Padahal saya perhatikan banyak buku lawas, mungkin bekas, yang menjadi koleksi di tiap kios. Terdapat buku sastra, buku kuliah, komik lawas pun ada, pokoknya beragam jenis buku ada. Hanya saja, emang dasar buku yang saya cari sudah habis.Â
JakBook Festival kemudian menjadi perhatian saya. Berbeda dengan pedagang kios, ini layaknya ala-ala pameran buku gitu, meskipun saat itu yang datang tidak terlalu ramai. Sudah satu bulan JakBook Festival berlangsung.Â
Disini saya membeli sebanyak 10 buku dengan total pembayaran kurang dari Rp150.000. Memilih buku yang paling murah. Hanya buku Garis Waktu karya Fiersa Besari dibandrol Rp58.000 dengan potongan 25% yang mahal, selebihnya kisaran harga Rp8.000-Rp20.000.
Ada JakBook, beda tempat lagi dengan JakBook Festival. JakBook sekelas toko Gramedia, lebih luas, bersih, dan musik yang diputar. Lebih hiduplah di ruangan yang memakan hampir seperempat luas lantai ini. Mungkin semacam pemeran utama dalam film.
Saya yang masi menyerempet generasi milenial, merasa penataan kawasan ini masi biasa saja. Jika sasarannya generasi muda, harusnya tempat ini disulap lebih berwarna. Anak jaman sekarang, tidak lepas dari suasana cozy, asik untuk nongkrong, dan tentu saja istagramable. Ini seperti gula untuk memancing semut berdatangan.
Semoga JakBooK tidak terbawa suasana usang seperti kios yang berada dalam barisan sekat di tiap lantainya. Tidak sesak seperti bunyi 'kernyitan' tangga berjalan. Semoga ketika kembali lagi di sini bisa mendapatkan kenyamanan seperti toko buku di moll. Pedagang yang mendapatkan keberuntungan dari penjualan buku.Â
Cukup sudah menjajal JakBook Pasar Kenari.
Lalu, adakahan yang bisa memberi petunjuk di mana bisa mendapatkan buku Senja di Jakarta?