Mohon tunggu...
Mang Jamal
Mang Jamal Mohon Tunggu... lainnya -

Manusia amatir, tinggal di Bandung, sayang anak, hobi ngakak :)

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

UUD 1945 "Rasa Sunda"

18 Juni 2010   06:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:27 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

UUD 1945 “Rasa Sunda”

Oleh Jamaludin Wiartakusumah


Saterusna, pikeun ngawangun hiji Pamaréntahan Nagara Indonésia nu nangtayungan sakumna bangsa Indonésia jeung sakuliah lemah cai Indonésia sarta pikeun ngamajukeun karaharjaan umum, nyerdaskeun kahirupan bangsa, jeung milu ngalaksanakeun katartiban dunya dumasar kana kamerdekaan, karépéhrapihan anu langgeng jeung kaadilan sosial, nya disusun éta kamerdékaan kabangsaan Indonésia teh dina hiji Undang-Undang Dasar Nagara Indonésia, winangun nagara Républik Indonésia nu ngagem kadaulatan rayat sarta dumasar kana Katuhanan Nu Maha Esa, kamanusaan nu adil jeung beradab, persatuan Indonésia, jeung karayatan nu dipingpin ku hikmah kawijaksanaan dina permusawarahan/perwakilan, bari jeung ngawujudkeun kaadilan sosial pikeun sakumna rakyat Indonésia.

Kalimat di atas adalah paragraf ketiga Bubuka (Preambule) Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah dialibahasakan ke dalam bahasa Sunda. Alih bahasa UUD 1945 ke dalam bahasa daerah adalah program Mahkamah Konstitusi yang patut diacungi dua jempol. Upaya cemerlang ini untuk memperkuat basis kebangsaan Indonesia dengan cara melakukan internalisasi konstitusi negara ke dalam kebudayaan Nusantara, dalam hal ini bahasa daerah yang beraneka ragam

Maka, UUD 1945 itu akan menjadi the living constitution karena ada dalam bahasa daerah dan dengan begitu dapat dipahami lebih mudah oleh masing-masing pemakai bahasa daerah tersebut.

Upaya penerjemahan ke dalam bahasa Sunda, yang barangkali juga dialami panitia alih bahasa daerah lain, ternyata tidak mudah. Beberapa bagian kalimat dalam konstitusi itu tampaknya tidak dapat diterjemahkan sesuai dengan ‘rasa’ bahasa Sunda, bahkan untuk kata atau kalimat yang tampak sudah sangat akrab. Contohnya frasa Ketuhanan Yang Maha Esa yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 di atas hanya mengalami sedikit perubahan menjadi Katuhanan Nu Maha Esa.

Tuhan dalam bahasa Sunda disebut Pangeran atau Gusti. Ketuhanan tampaknya tidak dapat diterjemahkan menjadi kapangeranan atau kagustian karena faktor rasa bahasa. Terjemahan Ketuhanan Yang Maha Esa secara per kata bisa Kapangeranan Anu Tunggal, tetapi rasa bahasa Sunda di frasa itu janggal karena ketuhanan itu mengandung makna kepercayaan kepada Tuhan. Adapun kapangeranan menunjuk pada sifat yang dimiliki Pangeran. Demikian halnya bila diterjemahkan Kapercayaan ka Pangeran Anu Tunggal, frasa itu tampak tidak mengena dengan rasa bahasa Sunda, salah satunya karena tunggal juga terdapat dalam bahasa Indonesia.

Sejarah kata Tuhan sendiri konon berasal dari upaya menerjemahkan God dan Lord dalam Injil ke dalam bahasa Indonesia di masa kolonial. Kata itu aslinya Tuan, yang karena faktor dialek mendapat sisipan h. Sekarang kata Tuan hanya dipakai pada bon toko dan kartu berobat.

Monoteis

Edi S Ekadjati dalam Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah (1995) mengungkapkan tentang agama dan kepercayaan orang Kanekes yang disebut agama Sunda Wiwitan atau Sunda Asli.Tuhan atau sistem kekuasaan tertinggi dalam agama Sunda Wiwitan berada pada Tuhan yang disebut dengan sifatnya, Sang Hyang Keresa (Tuhan Yang Maha Kuasa), Nu Ngersakeun (Tuhan Yang Maha Berkehendak), Batara Jagat (Penguasa Alam), Batara Seda Niskala (Yang Gaib) dan Batara Tunggal.

Sebutan untuk Tuhan yang senada dengan Tuhan Yang Maha Esa hanya Batara Tunggal. Yang terakhir ini, meskipun bermakna esa, tentu sulit diterima dan tidak cukup memadai sebagai versi Sunda sekarang untuk Tuhan Yang Maha Esa karena sebagian besar orang Sunda menganut Islam.

Tuhan didekati orang Sunda tidak dengan bilangan, tetapi dengan sifat-sifat seperti Nu Welas Asih (Yang Maha Pengasih dan Penyayang), sedang sisi kekuasaan terungkap dalam Nu Maha Kawasa (Yang Maha Kuasa), Nu Murbeng Alam (Yang Menguasai Alam). Bahwa Tuhan itu Maha Esa, satu atau tunggal, dalam pandangan religiusitas orang Sunda tampaknya sudah merupakan sifat built-in atau nature (fitrah) Tuhan hingga tidak lagi menjadi urusan penyebutan.

Monoteisme sudah merupakan landasan beragama orang Sunda sejak dahulu kala ketika karuhun orang Sunda menganut agama Sunda Wiwitan atau agama Sunda Asli. Semua dewa dalam konsep agama Hindu (Brahma, Wisnu, Syiwa, Indra, Yama dan lain-lain) tunduk kepada Batara Seda Niskala (Edi S Ekadjati, 1999:73). Konsep dewa dari India disesuaikan dengan sistem kepercayaan lokal yang monoteis. Akar monoteisme itu sering dijadikanalasan logis bila orang mempertanyakan proses masuknya Islam ke Tatar Sunda yang relatif mudah. Dari sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di pulau Jawa, wilayah Tatar Sunda dahulu hanya perlu satu, yaitu Sunan Gunung Jati. Meskipun bernada gurauan, kenyataan ini menunjukkan bahwa bagi orang Sunda, hal pokok konsep ketuhanan adalah monoteis.

Ketuhanan Yang Maha Esa adalah konsep kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan yang monoteis. Dalam hal penerjemahan ke dalam bahasa Sunda, yang relatif tetap dengan katuhanan dan esa, tampaknya sebagai tanda keikutsertaan Sunda dalam syahadat monoteis nasional tersebut. Selamat datang Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bahasa Sunda!

Jamaludin Wiartakusumah

Dosen Desain Itenas Bandung

Di muat di rubrik Anjungan Kompas Jawa Barat, Sabtu 9 Juni 2007

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun