Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Rumus Rezeki dalam Hidup

30 Maret 2021   05:17 Diperbarui: 30 Maret 2021   05:20 739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

"Jangan banyak mencari banyak, carilah berkah. Banyak bisa didapat hanya dengan meminta. Tapi memberi akan mendatangkan berkah", Ahmad Mustofa Bisri.

Hampir setiap manusia mempersepsikan keberlangsungan hidup hanya bergantung pada banyaknya harta. Entah itu harta dalam bentuk uang, logam mulia, aset, kendaraan dan investasi lainnya. Sebagai puncaknya, spontanitas muncullah satu simpulan bulat dalam benak kita, bahwa sangatlah tidak mungkin dalam menjalankan kehidupannya manusia mampu tegak tanpa menggenggam harta. 

Menyikapi persoalan itu, sekelompok orang menyebut kebergantungan atas hadirnya materiil ini dengan materialisme. Sementara kelompok responsif menyebutnya dengan tegas bercampur harap-harap cemas, bahwa hidup memang harus realistis. Hidup tidak akan pernah benar-benar hidup jika terus disuguhi dengan janji. Bagaimanapun janji itu adalah utang yang mungkin saja dilupakan atau malah dengan sengaja diingakari. 

Meski demikian, keterkaitan antara manusia, materiil dan hidup adalah wacana lama yang tidak pernah berlabuh di satu dermaga. Sehingga permasalahannya selalu memerlukan pendekatan dan ikhtiar runtutan cara pandang yang benar-benar dengan jelas diangkat ke muka.

Analoginya, manusia dan harta ibarat dua sisi mata koin yang selalu berjalan beriringan. Alhasil, adakalanya manusia tampil apa adanya sebagai seorang manusia sesungguhnya dan terkadang ia dikendalikan hasratnya yang gila harta. Namun sisi mana yang paling dominan tampil dari diri manusia, itulah sudut pandang yang umumnya kerap digunakan oleh khalayak dalam mendefinisikan, mendesain pola dan menentukan standaritas hidup serta nilai-nilai kebiasaan yang menjadikan di antara sesama manusia begitu segan dan kaku dalam menjerat makna hidup masing-masing kita.

Tatkala manusia tampil apa adanya sebagai seorang manusia sesungguhnya ia tanpa sungkan menunjukkan kemurahan hati dan kesederhanaannya. Manusia bergerak tanpa pamrih maupun embel-embel segala modus yang terselip dalam hatinya, tanpa motif yang terlintas dalam pikirannya. 

Kondisi psikis dan fisik sangat tidak lagi bergantung pada kadarnya harta yang tumpah ruah. Yang ia tahu, sedikit banyak akan tetap disyukurinya. Ia tahu betul, tugas utama dalam menyikapi segala gundah gulana dan onak hidup hanya dapat dilewati dengan mata terbuka dan sikap mau menerima. Syukur adalah kunci utama, sementara qona'ah pintu masuknya. 

Hingga akhirnya sebagai manusia, ia sadar, bahwa hidup saja adalah rezeki. Rezeki yang jika dihitung satuannya maka manusia akan kelabakan dirundung malu bukan kepalang tak ada habisnya. Bagaimana mungkin coba? Menghirup oksigen yang gratis ini akan menjadi sangat begitu mahal bagi segelintir orang yang sakit paru-parunya sudah akut stadium lima. Bagaimana mungkin coba? Panca indera kita yang normalnya masih saja sempurna tidak pernah kita sebutkan sebagai rezeki dari-Nya? Padahal karena kenormalan itulah kita bisa mencapai rezeki lain di luar diri kita. 

Bukankah keselamatan diri kita dari satu musibah adalah rezeki? Bukankah adanya orang lain yang meminjamkan uang tatkala kita benar-benar dalam keadaan yang membutuhkan adalah rezeki? Memiliki teman yang banyak dan memahami bagaimana keadaan kita setiap waktu sehingga ia mencurahkan perhatian dan kasih sayang di kala kita terpuruk, bukankah itu rezeki? 

Ah, terlalu banyak rezeki yang terbenam di dalam diri manusia. Akan tetapi hanya manusianya saja yang tidak pandai bersyukur dan benar-benar naif dalam memahami keberadaannya. Rezeki itu segala apa yang telah kita cerna. Sesuatu yang telah diambil kemanfaatannya oleh kita, sehingga menjadi tenaga untuk menjalankan kebaikan. Sementara apa yang ada dalam genggaman tangan kita belum tentu itu adalah rezeki kita, bisa jadi itu adalah hak orang lain yang dititipkan dan belum sampai kepadanya. 

Dengan demikian maka rezeki memang adanya di mana-mana. Di manapun kita berpijak, di sanalah takdir rezeki akan menemukan tuannya. Percaya atau tidak, rezeki itu sudah ditetapkan dari mana datangnya. Sekalipun itu hadirnya dari kemustahilan di luar nalar logika manusia, dari arah yang tidak pernah disangka-sangka.

Hudan-Nya menegaskan; "Barang siapa Bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu", QS. At-Talaq; 2-3.

Manusia model pertama sudah barang tentu akan mudah mencerna makna yang terkadang dalam ayat tersebut. Sehingga ia tahu bahwa rumus rezeki dalam hidup adalah percaturan antara do'a, ikhtiar, do'a dan tawakal dalam hasil. Pola ini menunjukkan betapa harus tahu dirinya seorang manusia tatkala berbicara tentang rezeki. Jika ia mendahulukan usaha kemudian dilanjutkan dengan do'a, maka betapa sombongnya manusia dalam memamerkan kekuatannya yang tidak seberapa. Padahal kekuatan itu berasal dari Al Muqit (Sang Maha Pemberi Kekuatan).

Bukankah seorang hamba tatkala meminta harus banyak membujuk, memohon keridhoan dan penuh kesungguhan? Layaknya tamu yang sangat sungkan dan mendahulukan adab dalam mengemukakan satu kepentingan. Jikalau kita tanpa tahu diri sebutkan saja "main nyelonong" seenaknya dalam bertamu, bukankah hal itu akan membuat tuan rumah akan merasa ilfill? Sementara falsafah Jawa menyebutkan; "Urip nek dunya mung mampir ngombe", (hidup di dunia hanya mampir minum).

Apa maksudnya? Artinya rumus hidup dan rezeki itu sama saja. Sama halnya seperti kita hendak menangkap seekor ayam. Lah, emang bagaimana jika hendak menangkap seekor ayam? Kalau kita hendak menangkap seekor ayam jangan kebelet dikejar, nanti yang ada kita telanjur lelah, dan ayam pun semakin menjauh. Berikan saja ia beras dan makanan, dengan mudah nanti ia akan datang dengan rela diri. 

Begitupun dengan rezeki, tak usah ragu, melangkahlah dengan baik, jangan terlalu kencang dalam mengejar, ngotot sekonyong-konyong memburu. Nanti kita akan mudah lelah tanpa hasil. Pancinglah ia, keluarkanlah sedekah, nanti rezeki itu akan datang menghampiri dirj tepat pada waktunya. Sebagaimana kebutuhan yang harus disegara dicukupi.

Kita ambil satu contoh realnya. Pernah satu ketika, baru-baru ini seorang ustadz-yang merupakan teman akrab saya-mengidam-idamkan memiliki selembar sarung baru. Tapi, ia sadar, bahwa dirinya tidak sedang memiliki uang. Persis di sore itu selepas pulang mengajar TPQ, ia mengutarakan keinginannya itu dan kami berdua (ia dan saya) sempat menertawakan keironisan hidupnya. Entah apa yang ada dalam benaknya, ternyata dua jam kemudian keinginannya itu langsung dikabulkan oleh Allah SWT. Pada kenyataannya bingkisan hasil mengikuti rutinan yasinan di dusun Srigading itu adalah satu buah sarung baru. 

Sontak ia pun langsung chat via WhatsApp kepada saya. Ia mengirimkan gambar sebuah kotak sarung baru bermerk Wadimor sembari melayangkan satu kalimat;"Aku malu sama Allah SWT, Ron". Sependek itu penegasannya tapi mendalam dan penuh makna. Eh, maaf barusan keceplosan menyebutkan merek. Sungguh tidak ada maksud untuk promosi ataupun endrosmen ya. 

Contoh itu menunjukkan salah satu bentuk dari definisi rezeki yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Selain itu, di lain pihak kisah itu menunjukkan betapa kompleksitas-nya rezeki yang kerap dipersembahkan Allah SWT untuk manusia. Allah SWT memang selalu mengerti dan mencukupi setiap kebutuhan umatnya tepat waktu tanpa ada keraguan di dalamnya. Atas dasar itu pula, kenapa kita sebagai manusia diharuskan untuk banyak berdo'a dalam memulai segala bentuk gerak dan tidak perhitungan dalam berbuat kebaikan atas sesama.

Berkaitan dengan hal itu, Cak Nun pernah mengingatkan kita;"berbuat baiklah sebanyak-banyaknya. Allah tidak tega kalau tidak mengabulkan do'amu".

Sementara itu, tipikal manusia yang dikendalikan hasratnya yang gila harta bersikap kekeh dengan asumsi dan cara pandangnya, sibuk mengerdilkan hakikat rezeki dengan keangkuhannya. 

Slogan angkuhnya muncul dengan sangat tiba-tiba; "Rezeki itu ya harta. Harta itu ya rezeki. Maka tugas manusia ya mengejarnya hingga kita merasakan bahagia dan kepuasaan meliputi dada. Jalannya, ya keras dalam bekerja, kerja dan kerja". 

Slogan itu tak lebih hanya menyempitkan jalannya takdir rezeki yang telah digariskan oleh Yang Maha Kuasa kepada masing-masing umatnya. Kebanyakan orang berpikir, rezeki itu hanya akan didapatkan jikalau kita mau bekerja. Bekerja keras lebih tepatnya. Bahkan sejauh ini kita tidak pernah curiga, mau membantah dan mempertanyakan kembali tentang makna, muasal dan muara rezeki itu sendiri.

Saking sibuknya kita mengejar-ngejar harta yang bersifat fana, jangan-jangan kita lupa dengan makna hidup yang telah diberkatkan Tuhan kepada kita. Perburuan liar kita terhadap harta telah jauh memalingkan wajah asli kemanusiaan dari hakikat hidup sebagai hamba yang papa. Semakin tergila-gila membudak pada pemuasan nafsu dunia kian tidaklah waras cara pandang dan eksekusi kita atas persoalan hidup yang ada di depan mata. 

Bagaimanapun pembudakan atas nafsu itu tak ada ujungnya, yang terjadi justru hanyalah bentuk binasa dan sia-sia. Sebab kita terjerumus dalam jurang yang kian menganga.

Ah, meski demikian, sungguh pun ini bukan satu aporisma kesepakatan antara saya dengan sekte Qodariyah ataupun Jabariyah. Melainkan satu upaya meninjau kembali posisi cara pandang dan pemahaman tentang carut-marut rezeki menurut manusia awan seperti saya. Apakah mungkin kegemaran kita dalam memburu harta juga turut mendiskreditkan kehadiran potensi minat lain yang ada di dalam diri kita? 

Pendek kata, saya justru malah teringat dengan dawuh K. H. M. Ma'ruf Marzuki yang menegaskan;"Jangan takut jika tidak bisa bekerja. Takutlah jika hanya bisa bekerja". 

Nah, dari sana saya mulai kian curiga yang selanjutnya beranak-pinak menjadi tanda tanya dan terus-menerus menggema. Sibuknya kita dalam bekerja jangan-jangan semata-mata hanya karena rasa takut tidak tercukupinya kebutuhan hidup saja tanpa diniatkan untuk mencari berkah dan ridhonya Allah SWT. Jika telah demikian, sungguh durjananya kita sebagai manusia, telah kufur atas ketetapan Qada dan Qadar-Nya tapi kita tetap saja berlagak songong hendak merengkuh gunungan nikmat-Nya. 

Ibarat kacang lupa kulitnya. Sudah dianugerahi rezeki tak ada habisnya namun ia tetap saja ceracau ke mana-mana. Mengeluhkan keadaan hidupnya, karena segudang keinginan tak pernah mampu tercukupinya. 

Manusia terkadang lupa, bahwa jabang bayi masih dikehendaki hidup meskipun ia tidak bekerja. Burung Pipit belum tentu tahu nasib rezekinya di hari esok, namun ia selalu memandang hidup dengan positif, penuh tawakal dan yakin bahwa tugas utamanya hanya berdo'a dan mengupayakan sekuat tenaga apa yang ia bisa. Selebihnya, bergantung penuh pada kemurahan takdir Sang Pencipta. 

Dari sana sampailah kita sama-sama saling percaya, bahwa semua makhluk ciptaan Allah SWT telah ditetapkan kadaritas masing-masing rezekinya. Namun, sebagai makhluk kita juga harus percaya, bahwa tidak ada hasil yang benar-benar piawai membohongi prosesnya. Karena atas adanya alasan itu pula kenapa Allah SWT menganugerahkan akal dan hati kepada manusia.

Pertanyaan mendasarnya, lantas di manakah posisi kita berada sekarang? tatkala memandang rezeki yang tak pernah patah arang dan tak kenal salah tuan. 

Tertanda Alfakir.

Tulungagung, 29-30 Maret 2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun