Di tengah derasnya arus modernisasi, dunia pendidikan sering kali kehilangan arah. Sekolah dibangun megah, kurikulum disusun rapi, teknologi diperbarui setiap tahun, tetapi manusia yang dihasilkan sering kering dari nilai dan miskin dari makna.
Pendidikan yang semula dimaksudkan untuk membentuk manusia seutuhnya, kini lebih sering terjebak dalam obsesi menghasilkan tenaga kerja.
Islam menawarkan misi pendidikan yang berbeda. Ia tidak memisahkan kecerdasan dari keimanan, akal dari akhlak, sains dari wahyu. Dalam pandangan Islam, pendidikan adalah proses membentuk manusia berpikir sekaligus beriman --- manusia yang menggunakan akalnya untuk mengenal Allah dan menjadikan ilmunya sebagai jalan menuju amal saleh.
Pendidikan Sebagai Jalan Iman
Islam memandang ilmu sebagai karunia ilahi, bukan sekadar hasil kerja otak manusia. Allah berfirman:
"Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan." (QS. Al-'Alaq: 1)
Ayat pertama yang turun ini menegaskan bahwa membaca --- simbol dari seluruh kegiatan belajar --- harus selalu dimulai atas nama Allah. Artinya, pendidikan tidak boleh lepas dari orientasi tauhid. Ilmu tanpa iman akan melahirkan kesombongan, sedangkan iman tanpa ilmu akan melahirkan fanatisme buta.
Maka, tujuan utama pendidikan dalam Islam bukan sekadar mencetak manusia cerdas, tetapi membangun kesadaran bahwa ilmu dan iman adalah dua sayap yang mengangkat manusia menuju derajat kemuliaan.
Manusia Berpikir: Amanah Akal dalam Islam
Akal adalah anugerah besar yang membedakan manusia dari makhluk lain. Islam menempatkan berpikir sebagai ibadah. Al-Qur'an berulang kali menyeru: "Afala ta'qilun" --- apakah kalian tidak berpikir? Berpikir dalam pandangan Islam bukan hanya untuk memecahkan masalah dunia, tetapi juga untuk menemukan makna hidup, mengenali kebesaran Pencipta, dan meneguhkan keimanan.
Pendidikan Islam harus menumbuhkan nalar kritis yang disinari iman, bukan sekadar logika yang kering. Karena berpikir tanpa arah akan melahirkan keraguan, sementara berpikir dengan iman akan melahirkan hikmah.
Ulama besar seperti Al-Ghazali dan Ibn Khaldun menegaskan bahwa akal harus tunduk kepada wahyu, bukan sebaliknya. Ketika akal bekerja di bawah bimbingan iman, ia melahirkan peradaban; tetapi ketika ia merasa mampu berdiri sendiri, ia justru menghancurkan peradaban itu sendiri.