Dalam dunia modern, manusia telah mencapai puncak pencapaian ilmu pengetahuan. Teknologi melesat, data melimpah, dan informasi dapat diakses dalam hitungan detik. Namun di balik kemajuan itu, muncul paradoks besar: ilmu tumbuh, tapi iman merosot; pengetahuan meluas, tapi kebijaksanaan menipis. Fenomena ini memperlihatkan bahwa ilmu yang terpisah dari iman kehilangan arah. Ia bagaikan cahaya tanpa kehangatan — menerangi pikiran tapi tidak menghidupkan hati.
Islam datang dengan paradigma yang berbeda. Dalam pandangan Islam, ilmu bukan sekadar alat untuk menguasai alam, melainkan jalan untuk mengenal Allah. Ilmu yang sejati tidak menjauhkan manusia dari Sang Pencipta, tetapi justru menuntunnya pada keimanan yang mendalam.
Ilmu sebagai Cahaya dari Allah
Al-Qur’an menggambarkan ilmu sebagai cahaya. Allah berfirman:
“Allah adalah cahaya langit dan bumi.” (QS. An-Nur: 35)
Cahaya ilmu adalah pancaran dari cahaya Ilahi. Karena itu, dalam Islam, ilmu tidak sekadar produk akal manusia, melainkan karunia dari Allah kepada hamba-hamba yang mencari-Nya dengan tulus.
Rasulullah ﷺ juga berdoa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.” (HR. Muslim). Ilmu yang bermanfaat (‘ilm nāfi‘) adalah ilmu yang menumbuhkan iman dan amal saleh, bukan sekadar menambah wawasan duniawi.
Akal dalam Islam memang penting, tetapi ia tidak berdiri sendiri. Akal adalah alat untuk memahami wahyu, bukan menggantikannya. Ketika akal dipisahkan dari iman, ia mudah tergelincir menjadi kesombongan intelektual.
Falsafah Pendidikan Islam: Menjadi Manusia Rabbani
Tujuan pendidikan dalam Islam bukanlah mencetak tenaga kerja atau mengejar peringkat akademik, melainkan membentuk insan rabbani — manusia yang mengenal Tuhannya dan berilmu karena Allah.
Sebagaimana firman-Nya: