Dalam sejarah umat manusia, tidak ada peradaban besar yang lahir tanpa pendidikan. Sebaliknya, tidak ada kehancuran yang lebih dahsyat daripada ketika sebuah bangsa memutus mata rantai ilmu dari akar akidahnya. Di titik inilah Islam hadir bukan sekadar sebagai agama ritual, tetapi sebagai sistem hidup yang meletakkan ilmu sebagai fondasi peradaban.
Ilmu sebagai Cahaya Peradaban
Peradaban Islam tidak pernah tumbuh dari tumpukan harta, melainkan dari ketinggian ilmu dan moral. Sejak masa Rasulullah , wahyu pertama yang turun bukanlah perintah berperang atau berpolitik, tetapi perintah "Iqra'"---bacalah.
Itulah pesan bahwa membaca, berpikir, dan menuntut ilmu adalah langkah pertama membangun peradaban.
Ketika umat Islam menjadikan ilmu sebagai ibadah, lahirlah ilmuwan yang menggetarkan dunia: Ibnu Sina, Al-Khwarizmi, Al-Ghazali, dan ribuan lainnya. Mereka tidak sekadar meneliti fenomena alam, tetapi membaca tanda-tanda kebesaran Allah. Di tangan
 mereka, ilmu menjadi cahaya yang menuntun jiwa, bukan sekadar alat menguasai materi.
Ketika Pendidikan Tercerabut dari Iman
Sayangnya, di era modern, pendidikan kerap kehilangan ruhnya. Ia berubah menjadi sistem produksi tenaga kerja, bukan pembentuk manusia. Nilai akademik dijadikan ukuran tunggal kecerdasan, sementara keimanan dan akhlak terpinggirkan.
Sekularisasi pendidikan membuat generasi terbelah: pintar secara intelektual, tapi kering secara spiritual. Inilah hasil dari memisahkan ilmu dari wahyu, seolah Tuhan tak lagi berhak mengatur ruang kelas. Maka lahirlah manusia yang canggih berpikir, namun kehilangan arah hidup.
Islam memperingatkan kondisi seperti ini. Ilmu tanpa iman akan menjerumuskan manusia pada kesombongan, sebagaimana firman Allah:
"Dia hanya mengetahui yang lahir dari kehidupan dunia, sedangkan terhadap akhirat mereka lalai." (QS. Ar-Rum: 7)
Pendidikan Islam tidak mengenal dikotomi antara dunia dan akhirat. Ia menyatukan keduanya dalam satu kesadaran: semua ilmu harus mengantarkan kepada ketaatan.
Paradigma Islam: Ilmu yang Menghidupkan Akal dan Jiwa
Dalam sistem pendidikan Islam, ilmu tidak berdiri sendiri. Ia berpijak pada tiga pilar: akal, realitas, dan wahyu. Akal mengamati, realitas memberi bahan pikir, dan wahyu menuntun arah.
Dengan keseimbangan ini, manusia tidak hanya tahu bagaimana sesuatu terjadi, tetapi mengapa dan untuk apa sesuatu diciptakan.
Maka pendidikan bukan hanya soal transfer pengetahuan, tapi pembentukan syakhsiyah Islamiyah---kepribadian yang berpikir dan berjiwa Islami. Itulah sebabnya sistem Islam menempatkan pendidikan sebagai tanggung jawab negara, bukan beban individu. Negara menjamin setiap anak belajar agar menjadi hamba Allah yang sadar, bukan sekadar warga yang terampil.
Belajar dari Sejarah Keemasan Islam
Pada masa keemasan itu, pendidikan bukan sekadar sarana mobilitas sosial, melainkan pilar utama peradaban. Setiap madrasah menjadi taman ilmu yang menumbuhkan ulama sekaligus ilmuwan. Para guru menanamkan adab sebelum ilmu, dan setiap pelajar didorong untuk menuntut ilmu dengan niat ibadah, bukan sekadar mencari pekerjaan. Pemerintah mendukung penuh kegiatan ilmiah, menyediakan perpustakaan raksasa seperti Bayt al-Hikmah di Baghdad, tempat manuskrip Yunani, Persia, dan India diterjemahkan serta dikaji dalam cahaya Islam. Dari sinilah lahir para ilmuwan besar seperti Al-Khwarizmi, Ibnu Sina, dan Al-Farabi yang menggabungkan ilmu wahyu dengan ilmu rasional secara harmonis.
Keberhasilan itu menunjukkan bahwa kejayaan Islam bertumpu pada kesadaran bahwa ilmu adalah amanah Allah, bukan komoditas ekonomi. Negara menjamin akses ilmu bagi semua warganya, karena keyakinan bahwa mencerdaskan umat adalah bagian dari tanggung jawab imamah. Tak ada konsep "uang kuliah" atau "komersialisasi sekolah." Justru, guru dan murid sama-sama dimuliakan, karena mereka berperan dalam membangun peradaban yang berlandaskan wahyu. Inilah pelajaran berharga bagi umat hari ini: jika pendidikan kembali diposisikan sebagai ibadah dan dijalankan atas dasar tanggung jawab syar'i, maka kebangkitan Islam bukan sekadar nostalgia sejarah, melainkan keniscayaan masa depan.
Membangun Kembali Kesadaran Ilmiah Berbasis Iman
Hari ini, kita membutuhkan revolusi kesadaran: mengembalikan makna pendidikan sebagai ibadah. Sekolah bukanlah pabrik ijazah, melainkan tempat menumbuhkan iman dan akal. Guru bukan sekadar instruktur, tapi penuntun jiwa. Dan negara seharusnya menjadi penjaga arah pendidikan, bukan pedagang kurikulum.
Umat Islam harus berani menegaskan kembali falsafah pendidikannya sendiri: pendidikan yang menghidupkan hati, menajamkan akal, dan menegakkan iman. Dari sinilah lahir generasi baru---berilmu, berakhlak, dan berani menegakkan kebenaran.
Karena pada akhirnya, sebagaimana sejarah telah membuktikan:
Peradaban tidak dibangun dari kekuatan senjata, tetapi dari kekuatan ilmu yang bersumber dari wahyu.
.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI