Pendidikan Islam tidak mengenal dikotomi antara dunia dan akhirat. Ia menyatukan keduanya dalam satu kesadaran: semua ilmu harus mengantarkan kepada ketaatan.
Paradigma Islam: Ilmu yang Menghidupkan Akal dan Jiwa
Dalam sistem pendidikan Islam, ilmu tidak berdiri sendiri. Ia berpijak pada tiga pilar: akal, realitas, dan wahyu. Akal mengamati, realitas memberi bahan pikir, dan wahyu menuntun arah.
Dengan keseimbangan ini, manusia tidak hanya tahu bagaimana sesuatu terjadi, tetapi mengapa dan untuk apa sesuatu diciptakan.
Maka pendidikan bukan hanya soal transfer pengetahuan, tapi pembentukan syakhsiyah Islamiyah---kepribadian yang berpikir dan berjiwa Islami. Itulah sebabnya sistem Islam menempatkan pendidikan sebagai tanggung jawab negara, bukan beban individu. Negara menjamin setiap anak belajar agar menjadi hamba Allah yang sadar, bukan sekadar warga yang terampil.
Belajar dari Sejarah Keemasan Islam
Pada masa keemasan itu, pendidikan bukan sekadar sarana mobilitas sosial, melainkan pilar utama peradaban. Setiap madrasah menjadi taman ilmu yang menumbuhkan ulama sekaligus ilmuwan. Para guru menanamkan adab sebelum ilmu, dan setiap pelajar didorong untuk menuntut ilmu dengan niat ibadah, bukan sekadar mencari pekerjaan. Pemerintah mendukung penuh kegiatan ilmiah, menyediakan perpustakaan raksasa seperti Bayt al-Hikmah di Baghdad, tempat manuskrip Yunani, Persia, dan India diterjemahkan serta dikaji dalam cahaya Islam. Dari sinilah lahir para ilmuwan besar seperti Al-Khwarizmi, Ibnu Sina, dan Al-Farabi yang menggabungkan ilmu wahyu dengan ilmu rasional secara harmonis.
Keberhasilan itu menunjukkan bahwa kejayaan Islam bertumpu pada kesadaran bahwa ilmu adalah amanah Allah, bukan komoditas ekonomi. Negara menjamin akses ilmu bagi semua warganya, karena keyakinan bahwa mencerdaskan umat adalah bagian dari tanggung jawab imamah. Tak ada konsep "uang kuliah" atau "komersialisasi sekolah." Justru, guru dan murid sama-sama dimuliakan, karena mereka berperan dalam membangun peradaban yang berlandaskan wahyu. Inilah pelajaran berharga bagi umat hari ini: jika pendidikan kembali diposisikan sebagai ibadah dan dijalankan atas dasar tanggung jawab syar'i, maka kebangkitan Islam bukan sekadar nostalgia sejarah, melainkan keniscayaan masa depan.
Membangun Kembali Kesadaran Ilmiah Berbasis Iman
Hari ini, kita membutuhkan revolusi kesadaran: mengembalikan makna pendidikan sebagai ibadah. Sekolah bukanlah pabrik ijazah, melainkan tempat menumbuhkan iman dan akal. Guru bukan sekadar instruktur, tapi penuntun jiwa. Dan negara seharusnya menjadi penjaga arah pendidikan, bukan pedagang kurikulum.
Umat Islam harus berani menegaskan kembali falsafah pendidikannya sendiri: pendidikan yang menghidupkan hati, menajamkan akal, dan menegakkan iman. Dari sinilah lahir generasi baru---berilmu, berakhlak, dan berani menegakkan kebenaran.