Papan Catur Geopolitik
Dunia internasional hari ini ibarat papan catur raksasa. Ada raja yang menentukan arah permainan, ada bidak yang banyak jumlahnya tapi hanya bisa digerakkan sesuai strategi pemain. Di tengah papan itulah posisi negara-negara Arab sering ditempatkan: sekadar bidak, bukan pemain utama. Sementara Barat—Amerika Serikat dan sekutunya—berperan bak raja yang mengendalikan jalannya permainan.
Padahal, dunia Arab memiliki segala potensi untuk memimpin: cadangan minyak terbesar, posisi geografis strategis, dan jumlah penduduk yang besar. Namun potensi itu justru jarang dipakai untuk kepentingan umat. Sebaliknya, ia lebih sering diarahkan untuk mendukung agenda asing.
Bidak yang Digerakkan
Normalisasi hubungan dengan Israel oleh UEA, Bahrain, Maroko, dan Sudan hanyalah satu contoh nyata. Keputusan itu tidak lahir dari kemandirian politik, melainkan dari tekanan dan bujukan Amerika. Begitu pula keberadaan pangkalan militer asing di Teluk yang menunjukkan betapa rapuhnya kedaulatan politik Arab.
Di mata dunia, Arab tidak dilihat sebagai aktor yang menentukan, tetapi pion yang bisa digeser maju atau dikorbankan kapan saja. Suara kecaman terhadap agresi Israel atau invasi Barat ke negeri Muslim sering berhenti di meja diplomasi, tanpa tindak lanjut yang berarti.
Raja yang Mengatur Jalannya Permainan
Barat justru tampil sebagai raja di papan global. Dengan hak veto di Dewan Keamanan PBB, kekuatan militer NATO, kendali atas lembaga keuangan dunia, hingga pengaruh media internasional, mereka menentukan siapa yang dilabeli sekutu dan siapa yang dicap musuh.
Palestina menjadi bukti paling telanjang. Puluhan resolusi PBB tidak mampu menghentikan Israel, karena selalu ada veto Amerika. Invasi Irak 2003 pun dijalankan dengan alasan senjata pemusnah massal yang terbukti palsu, namun tetap dilegitimasi oleh hukum internasional. Suriah, Afghanistan, dan Yaman pun mengalami nasib serupa: hukum dan diplomasi dijadikan tameng untuk kepentingan politik adidaya.
Ketergantungan yang Membelenggu