Di era modern, istilah deep work dipopulerkan oleh Cal Newport, seorang profesor komputer dan pakar produktivitas. Ia mendefinisikan deep work sebagai kemampuan bekerja dengan konsentrasi penuh, bebas distraksi, untuk menghasilkan karya bernilai tinggi dan sulit ditiru. Bagi pekerja kreatif, akademisi, atau profesional, konsep ini menjadi resep sukses di tengah dunia yang serba bising.
Namun, jauh sebelum istilah ini lahir, para ulama Islam klasik sudah mempraktikkannya. Bahkan hasilnya jauh lebih fenomenal: kitab berjilid-jilid, hafalan jutaan hadis, hingga penguasaan bahasa dalam waktu singkat. Semua itu dilakukan di zaman tanpa listrik, tanpa mesin cetak, apalagi komputer.
Imam Ahmad bin Hanbal: Lautan Hadis
Imam Ahmad bin Hanbal (164–241 H / 780–855 M), pendiri mazhab Hanbali, dikenal sebagai sosok yang menguasai hadis dengan jumlah luar biasa. Para ulama meriwayatkan bahwa beliau menghafal lebih dari satu juta hadis beserta sanadnya. Jumlah itu mungkin terdengar mustahil bagi kita hari ini.
Tetapi, jika dipahami dengan kerangka deep work, hal itu logis. Imam Ahmad menjalani hidup penuh disiplin, jauh dari kemewahan, dan fokus total pada ilmu. Waktunya dibagi hanya untuk menuntut ilmu, mengajar, menulis, dan beribadah. Disiplin keras ini memungkinkan otaknya mengendapkan ribuan riwayat setiap hari, hingga membentuk memori hadis yang luar biasa.
Imam an-Nawawi: Usia Singkat, Karya Melimpah
Contoh lain adalah Imam an-Nawawi (631–676 H / 1233–1277 M). Beliau wafat di usia 45 tahun, namun meninggalkan karya lebih dari 40 kitab, banyak di antaranya berjilid-jilid tebal. Riyadhus Shalihin, Al-Arba’in an-Nawawiyyah, Al-Majmu’, dan Syarh Shahih Muslim adalah karya yang hingga kini masih menjadi rujukan dunia Islam.
Bagaimana mungkin dalam usia singkat beliau bisa menulis begitu banyak karya? Jawabannya ada pada hidup zuhud dan deep work. Imam Nawawi tidak pernah menikah, sedikit tidur, sangat hemat dalam makan, dan seluruh waktunya ditumpahkan untuk menulis dan mengajar. Hidupnya nyaris tanpa distraksi duniawi. Dengan fokus sedalam itu, tak heran beliau mampu melahirkan karya abadi.
Hasan bin Tsabit: Menguasai Bahasa dalam 100 Hari
Sahabat Nabi ï·º, Hasan bin Tsabit, dikenal sebagai penyair Rasulullah. Sumber-sumber sejarah menyebut bahwa ia memiliki kemampuan bahasa yang istimewa. Dikisahkan, beliau mampu menguasai bahasa asing hanya dalam 100 hari. Bayangkan, dalam waktu singkat ia bisa memahami ragam bahasa yang digunakan untuk berinteraksi dan menulis syair.
Fenomena ini hanya bisa dipahami bila kita melihat cara ulama generasi awal mempraktikkan deep work. Fokus total, niat yang lurus, dan minim distraksi menjadikan mereka bisa menyerap ilmu dengan cepat. Apa yang bagi kita butuh waktu bertahun-tahun, bagi mereka hanya butuh hitungan bulan karena perhatian dan energi terkonsentrasi penuh.
Rahasia Produktivitas Ulama
Apa yang membuat para ulama mampu mencapai prestasi yang bagi kita hampir mustahil? Ada beberapa rahasia yang bisa kita kaitkan dengan konsep deep work:
Kehidupan zuhud – Mereka menjauhi kemewahan, sehingga waktu dan pikiran tidak habis untuk urusan duniawi.
Kedisiplinan waktu – Hari-hari mereka dibagi ketat antara belajar, menulis, mengajar, dan ibadah. Hampir tidak ada ruang untuk kegiatan sia-sia.
Minim distraksi – Tidak ada media sosial, televisi, atau gadget. Fokus mereka hanya ilmu.
Tujuan spiritual – Bagi mereka, menulis kitab atau menghafal hadis bukan sekadar prestasi akademik, tapi ibadah dan jalan menuju ridha Allah. Inilah motivasi terdalam yang membuat mereka tahan bekerja panjang tanpa lelah.
Relevansi bagi Kita
Kita mungkin tidak akan bisa menandingi produktivitas Imam Ahmad atau Imam Nawawi. Tetapi kita bisa belajar dari pola deep work mereka. Di era digital, distraksi datang dari notifikasi HP, media sosial, dan budaya multitasking. Tanpa sadar, energi kita terpecah sehingga sulit menghasilkan karya bermutu.
Ulama klasik memberi teladan bahwa untuk melahirkan karya besar, kita harus menyediakan ruang khusus: waktu tenang, niat lurus, dan fokus penuh. Bahkan bila hanya satu atau dua jam sehari, jika dilakukan konsisten, bisa melahirkan karya yang mendalam.
Penutup
Deep work mungkin istilah baru, tetapi praktiknya sudah lama hidup dalam tradisi ulama Islam. Imam Ahmad menghafal jutaan hadis, Imam Nawawi menulis puluhan kitab dalam usia singkat, Hasan bin Tsabit menguasai  bahasa hanya dalam hitungan bulan. Semua itu bukan keajaiban kosong, tetapi hasil dari hidup yang penuh fokus, disiplin, dan niat yang lurus.
Maka, di tengah dunia modern yang serba bising, kita perlu kembali belajar dari tradisi ulama. Fokus, kurangi distraksi, dan niatkan kerja sebagai ibadah. Dengan begitu, setiap detik kerja kita bisa melahirkan sesuatu yang bernilai, bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI