Mohon tunggu...
Maman Abdullah
Maman Abdullah Mohon Tunggu... Pengasuh Tahfidz | Penulis Gagasan

Magister pendidikan, pengasuh pesantren tahfidz, dan penulis opini yang menyuarakan perspektif Islam atas isu sosial, pendidikan, dan kebijakan publik.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Deep Work dan Tradisi Ulama Islam: Produktivitas Tanpa Distraksi

30 September 2025   07:10 Diperbarui: 30 September 2025   12:33 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di era modern, istilah deep work dipopulerkan oleh Cal Newport, seorang profesor komputer dan pakar produktivitas. Ia mendefinisikan deep work sebagai kemampuan bekerja dengan konsentrasi penuh, bebas distraksi, untuk menghasilkan karya bernilai tinggi dan sulit ditiru. Bagi pekerja kreatif, akademisi, atau profesional, konsep ini menjadi resep sukses di tengah dunia yang serba bising.

Namun, jauh sebelum istilah ini lahir, para ulama Islam klasik sudah mempraktikkannya. Bahkan hasilnya jauh lebih fenomenal: kitab berjilid-jilid, hafalan jutaan hadis, hingga penguasaan bahasa dalam waktu singkat. Semua itu dilakukan di zaman tanpa listrik, tanpa mesin cetak, apalagi komputer.

Imam Ahmad bin Hanbal: Lautan Hadis

Imam Ahmad bin Hanbal (164–241 H / 780–855 M), pendiri mazhab Hanbali, dikenal sebagai sosok yang menguasai hadis dengan jumlah luar biasa. Para ulama meriwayatkan bahwa beliau menghafal lebih dari satu juta hadis beserta sanadnya. Jumlah itu mungkin terdengar mustahil bagi kita hari ini.

Tetapi, jika dipahami dengan kerangka deep work, hal itu logis. Imam Ahmad menjalani hidup penuh disiplin, jauh dari kemewahan, dan fokus total pada ilmu. Waktunya dibagi hanya untuk menuntut ilmu, mengajar, menulis, dan beribadah. Disiplin keras ini memungkinkan otaknya mengendapkan ribuan riwayat setiap hari, hingga membentuk memori hadis yang luar biasa.

Imam an-Nawawi: Usia Singkat, Karya Melimpah

Contoh lain adalah Imam an-Nawawi (631–676 H / 1233–1277 M). Beliau wafat di usia 45 tahun, namun meninggalkan karya lebih dari 40 kitab, banyak di antaranya berjilid-jilid tebal. Riyadhus Shalihin, Al-Arba’in an-Nawawiyyah, Al-Majmu’, dan Syarh Shahih Muslim adalah karya yang hingga kini masih menjadi rujukan dunia Islam.

Bagaimana mungkin dalam usia singkat beliau bisa menulis begitu banyak karya? Jawabannya ada pada hidup zuhud dan deep work. Imam Nawawi tidak pernah menikah, sedikit tidur, sangat hemat dalam makan, dan seluruh waktunya ditumpahkan untuk menulis dan mengajar. Hidupnya nyaris tanpa distraksi duniawi. Dengan fokus sedalam itu, tak heran beliau mampu melahirkan karya abadi.

Hasan bin Tsabit: Menguasai Bahasa dalam 100 Hari

Sahabat Nabi ï·º, Hasan bin Tsabit, dikenal sebagai penyair Rasulullah. Sumber-sumber sejarah menyebut bahwa ia memiliki kemampuan bahasa yang istimewa. Dikisahkan, beliau mampu menguasai bahasa asing hanya dalam 100 hari. Bayangkan, dalam waktu singkat ia bisa memahami ragam bahasa yang digunakan untuk berinteraksi dan menulis syair.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun