Mohon tunggu...
Maman Abdullah
Maman Abdullah Mohon Tunggu... Pengasuh Tahfidz | Penulis Gagasan

Magister pendidikan, pengasuh pesantren tahfidz, dan penulis opini yang menyuarakan perspektif Islam atas isu sosial, pendidikan, dan kebijakan publik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hijrah Anak Muda: Antara Spiritualitas dan Tren Sosial

25 September 2025   11:00 Diperbarui: 25 September 2025   12:23 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
bintangpusnas.perpusnas.go.id

Beberapa tahun terakhir, kata hijrah semakin sering terdengar, terutama di kalangan anak muda perkotaan. Dari media sosial hingga ruang diskusi publik, fenomena hijrah seolah menjadi topik wajib. Gaya hidup pun tampak berubah: pakaian lebih tertutup, musik Islami menggantikan lagu pop barat, hingga lingkar pertemanan yang diarahkan ke komunitas religius. Fenomena ini tidak bisa diabaikan, sebab menunjukkan adanya pergeseran cara anak muda memandang hidup. Namun, muncul pertanyaan: apakah hijrah ini lahir dari kesadaran spiritual yang tulus, atau sekadar tren sosial yang sedang naik daun?


Makna Hijrah yang Lebih Luas

Secara historis, hijrah merujuk pada peristiwa monumental dalam sejarah Islam: perpindahan Nabi Muhammad ﷺ bersama para sahabat dari Mekah ke Madinah demi menegakkan ajaran Islam dengan bebas. Hijrah bukan sekadar perpindahan tempat, melainkan transformasi besar dalam membangun peradaban baru.

Kini, makna hijrah meluas menjadi proses meninggalkan kebiasaan lama menuju kehidupan yang lebih baik secara spiritual. Bagi banyak anak muda, hijrah adalah bagian dari pencarian jati diri. Mereka ingin hidup lebih bermakna, lebih dekat dengan Tuhan, dan lebih tenang menghadapi tantangan zaman. Namun, jalan hijrah tidak selalu mulus. Ada yang berhenti pada simbol luar—busana, gaya bicara, atau tren media sosial—tanpa diiringi perubahan batin yang lebih mendalam.

Apa yang Mendorong Hijrah?

Fenomena hijrah tidak muncul begitu saja. Ada sejumlah faktor yang melatarbelakanginya. Pertama, kekosongan spiritual di tengah modernitas. Hidup di era digital memang serba cepat dan penuh hiburan, tetapi banyak anak muda merasa jiwanya hampa. Hidup terlihat “ramai”, tetapi hati terasa sepi. Hijrah menjadi jalan keluar untuk mengisi kekosongan itu.

Kedua, pengaruh tokoh publik yang berhijrah. Kisah perjalanan spiritual figur seperti Teuku Wisnu, Arie Untung, atau Oki Setiana Dewi memberi inspirasi nyata. Melalui kisah mereka, banyak anak muda yang merenung dan kemudian terdorong untuk mengambil langkah serupa.

Ketiga, tumbuhnya komunitas hijrah. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Yogyakarta, komunitas hijrah berkembang pesat. Mereka menyediakan ruang aman bagi anak muda untuk belajar agama tanpa merasa dihakimi. Dengan bahasa kekinian, pendekatan ramah, bahkan suasana non-formal, komunitas ini membuat proses hijrah terasa lebih ringan dan menyenangkan.

Antara Spiritualitas dan Tren Sosial

Meski penuh semangat religius, hijrah juga tak lepas dari dinamika tren sosial. Di media sosial, hijrah sering dikemas dalam bentuk konten motivasi, fashion Islami, hingga branding produk halal. Inilah yang memunculkan pertanyaan kritis: apakah hijrah benar-benar didorong oleh kesadaran mendekat kepada Tuhan, atau sekadar ikut-ikutan? Apakah perubahan gaya hidup ini akan bertahan lama, atau hanya sesaat seperti tren gaya rambut atau diet?

Namun, perlu diingat: proses spiritual jarang sempurna sejak awal. Bahkan bila dimulai dari tren, tidak menutup kemungkinan seseorang akan mengalami perubahan hati yang lebih mendalam seiring perjalanan. Semua orang berhak memulai dari mana saja. Yang terpenting adalah konsistensi dalam memelihara niat dan arah.

Tantangan Setelah Hijrah

Hijrah bukan akhir perjalanan, justru awal dari proses panjang. Tantangan terbesar biasanya muncul setelah keputusan hijrah diambil. Godaan untuk kembali pada gaya hidup lama, tekanan dari lingkungan, atau ekspektasi sosial yang terlalu tinggi bisa membuat semangat hijrah meredup. Tidak sedikit yang merasa tidak cukup baik, lalu memilih mundur.

Karena itu, peran komunitas sangat penting. Komunitas yang membimbing dengan kasih, bukan menghakimi, akan membuat proses hijrah lebih sehat. Sebaliknya, jika komunitas hanya menekankan simbol dan menuntut kesempurnaan instan, hijrah bisa menjadi beban yang menyesakkan.

Penutup: Hijrah sebagai Proses, Bukan Gaya Instan

Hijrah anak muda—apakah berangkat dari spiritualitas atau tren sosial—tetap menunjukkan satu hal penting: adanya kebutuhan untuk kembali kepada nilai-nilai yang lebih dalam. Ini adalah sinyal positif bahwa anak muda mencari arah hidup yang lebih bermakna.

Jika semangat hijrah dipelihara dengan pendekatan inklusif, sabar, dan membumi, ia tidak akan berhenti sebagai tren sesaat. Sebaliknya, hijrah dapat berkembang menjadi proses spiritual yang mendewasakan, baik secara pribadi maupun sosial.

Karena pada akhirnya, hijrah yang paling bermakna bukanlah yang paling terlihat dari luar, melainkan yang paling mengubah cara kita berpikir, bersikap, dan memperlakukan sesama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun