Namun, perlu diingat: proses spiritual jarang sempurna sejak awal. Bahkan bila dimulai dari tren, tidak menutup kemungkinan seseorang akan mengalami perubahan hati yang lebih mendalam seiring perjalanan. Semua orang berhak memulai dari mana saja. Yang terpenting adalah konsistensi dalam memelihara niat dan arah.
Tantangan Setelah Hijrah
Hijrah bukan akhir perjalanan, justru awal dari proses panjang. Tantangan terbesar biasanya muncul setelah keputusan hijrah diambil. Godaan untuk kembali pada gaya hidup lama, tekanan dari lingkungan, atau ekspektasi sosial yang terlalu tinggi bisa membuat semangat hijrah meredup. Tidak sedikit yang merasa tidak cukup baik, lalu memilih mundur.
Karena itu, peran komunitas sangat penting. Komunitas yang membimbing dengan kasih, bukan menghakimi, akan membuat proses hijrah lebih sehat. Sebaliknya, jika komunitas hanya menekankan simbol dan menuntut kesempurnaan instan, hijrah bisa menjadi beban yang menyesakkan.
Penutup: Hijrah sebagai Proses, Bukan Gaya Instan
Hijrah anak muda—apakah berangkat dari spiritualitas atau tren sosial—tetap menunjukkan satu hal penting: adanya kebutuhan untuk kembali kepada nilai-nilai yang lebih dalam. Ini adalah sinyal positif bahwa anak muda mencari arah hidup yang lebih bermakna.
Jika semangat hijrah dipelihara dengan pendekatan inklusif, sabar, dan membumi, ia tidak akan berhenti sebagai tren sesaat. Sebaliknya, hijrah dapat berkembang menjadi proses spiritual yang mendewasakan, baik secara pribadi maupun sosial.
Karena pada akhirnya, hijrah yang paling bermakna bukanlah yang paling terlihat dari luar, melainkan yang paling mengubah cara kita berpikir, bersikap, dan memperlakukan sesama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI