Beberapa tahun terakhir, kata hijrah semakin sering terdengar, terutama di kalangan anak muda perkotaan. Dari media sosial hingga ruang diskusi publik, fenomena hijrah seolah menjadi topik wajib. Gaya hidup pun tampak berubah: pakaian lebih tertutup, musik Islami menggantikan lagu pop barat, hingga lingkar pertemanan yang diarahkan ke komunitas religius. Fenomena ini tidak bisa diabaikan, sebab menunjukkan adanya pergeseran cara anak muda memandang hidup. Namun, muncul pertanyaan: apakah hijrah ini lahir dari kesadaran spiritual yang tulus, atau sekadar tren sosial yang sedang naik daun?
Makna Hijrah yang Lebih Luas
Secara historis, hijrah merujuk pada peristiwa monumental dalam sejarah Islam: perpindahan Nabi Muhammad ﷺ bersama para sahabat dari Mekah ke Madinah demi menegakkan ajaran Islam dengan bebas. Hijrah bukan sekadar perpindahan tempat, melainkan transformasi besar dalam membangun peradaban baru.
Kini, makna hijrah meluas menjadi proses meninggalkan kebiasaan lama menuju kehidupan yang lebih baik secara spiritual. Bagi banyak anak muda, hijrah adalah bagian dari pencarian jati diri. Mereka ingin hidup lebih bermakna, lebih dekat dengan Tuhan, dan lebih tenang menghadapi tantangan zaman. Namun, jalan hijrah tidak selalu mulus. Ada yang berhenti pada simbol luar—busana, gaya bicara, atau tren media sosial—tanpa diiringi perubahan batin yang lebih mendalam.
Apa yang Mendorong Hijrah?
Fenomena hijrah tidak muncul begitu saja. Ada sejumlah faktor yang melatarbelakanginya. Pertama, kekosongan spiritual di tengah modernitas. Hidup di era digital memang serba cepat dan penuh hiburan, tetapi banyak anak muda merasa jiwanya hampa. Hidup terlihat “ramai”, tetapi hati terasa sepi. Hijrah menjadi jalan keluar untuk mengisi kekosongan itu.
Kedua, pengaruh tokoh publik yang berhijrah. Kisah perjalanan spiritual figur seperti Teuku Wisnu, Arie Untung, atau Oki Setiana Dewi memberi inspirasi nyata. Melalui kisah mereka, banyak anak muda yang merenung dan kemudian terdorong untuk mengambil langkah serupa.
Ketiga, tumbuhnya komunitas hijrah. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Yogyakarta, komunitas hijrah berkembang pesat. Mereka menyediakan ruang aman bagi anak muda untuk belajar agama tanpa merasa dihakimi. Dengan bahasa kekinian, pendekatan ramah, bahkan suasana non-formal, komunitas ini membuat proses hijrah terasa lebih ringan dan menyenangkan.
Antara Spiritualitas dan Tren Sosial
Meski penuh semangat religius, hijrah juga tak lepas dari dinamika tren sosial. Di media sosial, hijrah sering dikemas dalam bentuk konten motivasi, fashion Islami, hingga branding produk halal. Inilah yang memunculkan pertanyaan kritis: apakah hijrah benar-benar didorong oleh kesadaran mendekat kepada Tuhan, atau sekadar ikut-ikutan? Apakah perubahan gaya hidup ini akan bertahan lama, atau hanya sesaat seperti tren gaya rambut atau diet?