Sejak berakhirnya Perang Dunia II, Timur Tengah berubah menjadi panggung utama perebutan pengaruh dunia. Kawasan ini bukan sekadar tanah gurun dengan konflik lokal, melainkan jantung energi dunia yang kaya minyak, sekaligus titik strategis yang menghubungkan Asia, Afrika, dan Eropa. Tak heran jika dua kekuatan besar Barat---Amerika Serikat dan Inggris---terus menancapkan kukunya di sana.
Di permukaan, keduanya tampak kompak sebagai sekutu. Mereka sama-sama bagian dari blok Barat, anggota NATO, dan sering mengulang jargon "demi perdamaian dunia". Namun bila ditelusuri lebih dalam, ada persaingan senyap yang berlangsung sejak lama. Mereka memang kawan, tetapi sekaligus lawan.
Analogi Dua Pedagang Besar
Bayangkan ada dua pedagang kaya di sebuah pasar. Mereka membuka toko bersama, tersenyum ramah pada pembeli, bahkan kadang memberikan diskon bersama. Namun saat malam tiba, mereka menghitung keuntungan sendiri-sendiri, bahkan iri jika salah satunya lebih banyak laku. Di depan tampak bersahabat, di belakang saling berebut pelanggan.
Itulah yang terjadi dengan Amerika dan Inggris di Timur Tengah. Pasarnya adalah kawasan Arab dan Islam, dagangannya berupa minyak, senjata, dan dukungan politik. Keduanya seolah bekerjasama, padahal diam-diam berebut pengaruh.
Jejak Persaingan
Setelah Perang Dunia II, Inggris masih memiliki jaringan kolonial yang kuat di Timur Tengah. Namun Amerika datang sebagai kekuatan baru, menawarkan "stabilitas" dengan syarat: negara-negara harus tunduk pada aturan mainnya. Dukungan terhadap pendirian Israel adalah salah satu langkah nyata Amerika dalam menancapkan dominasi.
Inggris tidak tinggal diam. Melalui hubungan lama dengan kerajaan-kerajaan Teluk, Inggris tetap berusaha menjaga posisinya. Amerika lalu melangkah lebih jauh dengan menguasai kontrak minyak, membangun pangkalan militer, hingga mendukung rezim-rezim yang pro-Washington. Rivalitas ini terus berulang dalam setiap konflik besar: Palestina, Irak, Suriah, hingga Yaman.
Perang Irak 2003 menjadi contoh menarik. Amerika memimpin invasi, Inggris ikut serta. Namun dalam pembagian pascaperang, terjadi tarik-menarik kepentingan. Amerika ingin dominasi penuh, sementara Inggris berusaha mendapatkan porsi dari kontrak minyak dan pembangunan. Di hadapan publik, keduanya terlihat akur. Tetapi di meja perundingan, jelas ada kompetisi.
Dunia Menyadari
Apakah dunia menyadari persaingan ini? Sebagian besar iya. Rusia dan Cina misalnya, sering menuding bahwa Timur Tengah hanyalah papan catur bagi Barat. Para analis Barat pun kerap menulis bahwa Amerika dan Inggris sebenarnya "kawan tapi lawan." Hanya saja, narasi resmi di panggung diplomasi selalu menekankan persahabatan dan aliansi strategis.
Masyarakat awam biasanya hanya melihat kulit luarnya: bahwa mereka adalah sekutu. Padahal, di balik layar, perebutan pengaruh tidak pernah berhenti.
Yang paling tragis, rakyat Timur Tengah sering menjadi korban. Konflik berkepanjangan, perang yang tak berujung, dan instabilitas politik hanyalah akibat dari perebutan pengaruh itu. Sementara minyak terus mengalir ke Barat, darah dan air mata tetap mengalir di tanah Arab.
Allah sudah memperingatkan:
 "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia..."
(QS. Al-Mumtahanah: 1)
Ayat ini mengingatkan agar umat Islam tidak tertipu oleh wajah manis kekuatan asing. Mereka mungkin tersenyum, menyebut diri sahabat, namun sejatinya sedang berebut menguasai kita.
Penutup
Pertarungan antara Amerika dan Inggris di Timur Tengah ibarat permainan catur panjang. Di depan publik keduanya tampak sebagai sekutu, namun sesungguhnya saling berebut kendali. Dunia internasional pun menyadarinya, hanya saja banyak rakyat awam masih melihat permukaan, seolah tak ada konflik kepentingan di balik kerjasama itu.
Pertanyaannya: sampai kapan umat Islam rela menjadi bidak dalam permainan ini? Selama kita pasif dan hanya menjadi penonton, pertarungan "kawan tapi lawan" itu akan terus berlangsung. Dampaknya jelas, negeri-negeri Muslim terus menjadi ajang konflik, sumber daya dirampas, dan generasi tercerabut dari jati dirinya.
Umat Islam sejatinya bukan bidak yang bisa digeser sesuka hati, melainkan pemain utama di panggung sejarah. Kesadaran ini menuntut keberanian untuk melepaskan diri dari logika penjajahan modern dan kembali pada visi besar yang mempersatukan. Pilihannya kini jelas: tetap dimanfaatkan dalam permainan orang lain, atau bangkit mengambil kendali untuk menentukan arah sendiri dengan bermartabat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI