Hari ini, kata kebebasan menjadi mantra yang diagungkan banyak orang. Ia dipandang sebagai puncak hak asasi manusia, jalan menuju kemajuan, sekaligus kunci kebahagiaan. Namun, ketika kebebasan ditafsirkan tanpa batas, justru lahir kenyataan pahit. Angka perceraian melonjak tajam, tren childfree makin meluas, sementara gaya hidup hedonis merambah generasi muda. Pertanyaannya: apakah kebebasan seperti ini benar-benar membawa kebaikan, atau justru menjerumuskan manusia pada krisis moral?
Gelombang Krisis Keluarga
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang 2024 terdapat lebih dari 394 ribu kasus perceraian di Indonesia. Penyebab utamanya adalah perselisihan rumah tangga yang tak kunjung selesai dan masalah ekonomi. Angka itu meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya, sementara jumlah pernikahan justru menurun. Kondisi ini menunjukkan bahwa institusi keluarga di negeri kita semakin rapuh.
Fenomena lain yang kian ramai dibicarakan adalah childfree. Data BPS 2022 menunjukkan sekitar 8,2 persen perempuan usia subur memilih tidak ingin memiliki anak meskipun sudah menikah. Alasannya beragam, mulai dari faktor ekonomi, karier, hingga sekadar kenyamanan hidup. Jika tren ini terus berkembang, bukan hanya keluarga yang terancam, tetapi juga masa depan demografi bangsa.
Di sisi lain, gaya hidup hedonis makin menjamur di kalangan generasi muda. Belanja konsumtif, pesta tanpa batas, dan budaya pamer di media sosial dianggap hal biasa. Hedonisme memang memberi kesenangan sesaat, tetapi pada akhirnya mengikis nilai keluarga dan menumbuhkan budaya instan. Childfree, perceraian, dan hedonisme hanyalah sebagian wajah krisis moral yang lahir dari paham kebebasan tanpa pagar.
Akar Liberalisme: Trauma Barat terhadap Agama
Untuk memahami liberalisme, kita perlu menengok sejarah Barat. Paham ini berakar pada trauma panjang terhadap dominasi gereja pada Abad Pertengahan. Kala itu, gereja menguasai urusan politik, ilmu pengetahuan, hingga ekonomi. Banyak ilmuwan dihukum karena pandangannya berbeda, sementara praktik korupsi marak melalui penjualan surat pengampunan dosa.
Masyarakat Barat akhirnya muak. Agama dianggap sebagai belenggu yang menghambat kemajuan. Dari trauma itu lahirlah gagasan bahwa manusia harus bebas dari aturan agama. Prinsip liberalisme pun terbentuk: bebas berkeyakinan, bebas berpikir, dan bebas berperilaku tanpa intervensi Tuhan.
Sekilas gagasan itu terdengar indah. Tetapi ketika agama disingkirkan dari ruang publik, kebebasan berubah menjadi kebablasan. Barat mungkin berhasil dalam sains dan teknologi, tetapi dalam urusan moral dan keluarga mereka justru runtuh.
Buah Pahit Kebebasan Tanpa Batas
Kini, Barat melangkah lebih jauh. LGBT dilegalkan, aborsi dianggap hak individu, dan narkoba di beberapa negara diizinkan. Semua ini disebut sebagai “kemajuan peradaban”. Namun di balik itu, keluarga-keluarga berantakan, angka depresi meningkat, dan moral masyarakat semakin runtuh.
Gelombang liberalisme tidak berhenti di Barat. Melalui globalisasi, media, dan diplomasi, paham ini masuk ke negeri-negeri Muslim. Generasi muda pun ikut terpapar. Pacaran dianggap wajar, konten vulgar di media sosial menjadi konsumsi sehari-hari, sementara childfree dan hedonisme dirayakan sebagai gaya hidup modern. Apa yang dulunya dipandang sebagai penyimpangan, kini dipromosikan sebagai pilihan hidup yang normal.
Inilah buah pahit dari kebebasan tanpa batas. Liberalisme tidak hanya merusak moral individu, tetapi juga melemahkan fondasi keluarga dan menggoyahkan masa depan sebuah bangsa.
Islam: Kebebasan yang Terjaga
Islam tidak menolak kebebasan. Bahkan Al-Qur’an menegaskan: “lā ikrāha fī al-dīn” — tidak ada paksaan dalam agama (QS. Al-Baqarah: 256). Setiap orang bebas memilih iman. Namun, Islam tidak pernah membiarkan kebebasan absolut tanpa aturan. Ada pagar syariat yang menjaga agar kebebasan tidak berubah menjadi kerusakan.
Islam memberi ruang luas bagi manusia. Kita bebas berusaha, tetapi riba dilarang. Kita bebas menikah, tetapi zina diharamkan. Kita bebas berpendapat, tetapi menghina agama tidak boleh. Dengan pagar syariat, kebebasan tetap ada, namun tetap terarah pada kebaikan. Inilah yang membedakan Islam dari liberalisme.
Solusi: Bebas dalam Taat
Krisis moral akibat liberalisme tidak bisa diselesaikan dengan menambah kebebasan lagi. Yang dibutuhkan adalah aturan yang mengembalikan manusia pada fitrahnya. Islam sudah menyediakan itu.
Negara semestinya hadir menjaga moral masyarakat, bukan melegalkan penyimpangan. Pendidikan harus menanamkan akhlak sejak dini. Keluarga pun harus kembali menjadi benteng utama yang melahirkan generasi beriman.
Kebebasan sejati adalah ketika manusia terbebas dari perbudakan hawa nafsu dan aturan sesama manusia, lalu tunduk hanya pada aturan Allah. Inilah yang disebut bebas dalam taat.
Penutup: Renungan untuk Umat
Fenomena childfree, perceraian, dan hedonisme hanyalah contoh kecil dari kerusakan besar yang lahir akibat liberalisme. Semuanya menunjukkan rapuhnya keluarga, melemahnya generasi, dan runtuhnya moral masyarakat.
Saatnya umat Islam sadar, kebebasan tanpa batas bukanlah solusi, melainkan racun. Islam telah membawa kebebasan sejati: kebebasan yang terarah, yang membebaskan manusia dari nafsu dan aturan sesama manusia, untuk taat hanya kepada Allah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI