Mohon tunggu...
Mallica Kezia
Mallica Kezia Mohon Tunggu... Mahasiswa Filsafat Universitas Gadjah Mada

Life is all about politics

Selanjutnya

Tutup

Politik

Transaksi di Balik Bilik: Demokrasi yang Terbeli

8 Juni 2025   19:25 Diperbarui: 8 Juni 2025   19:22 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah kita bertanya, seberapa besar harga satu suara? sepuluh ribu? seratus ribu? atau sekadar satu kantong sembako? Di tengah gegap gempita pesta demokrasi, diam-diam uang telah menggantikan musyawarah. Fenomena politik uang menjadi bayang-bayang gelap dalam setiap pemilu, menggerus nilai-nilai luhur demokrasi yang kita agung-agungkan.

Secara umum, istilah "politik uang" atau "serangan fajar" menunjuk pada penggunaan uang untuk mempengaruhi keputusan tertentu, baik itu dalam pemilihan umum ataupun dalam hal lain yang berhubungan dengan keputusan-keputusan penting. Politik uang dimaksud merujuk pada pengertian di mana seorang kandidat memberikan uang atau barang kepada calon pemilih agar memilihnya pada saat pemilihan umum.

Fenomena ini bukanlah hal baru. Dari pemilihan kepala desa hingga pemilihan presiden, aroma transaksional kerap mengiringi proses demokrasi kita. Banyak pemilih tergoda "serangan fajar" tanpa berpikir panjang tentang masa depan yang dipertaruhkan. Ironisnya, praktik semacam ini sering dianggap wajar, bahkan dianggap sebagai "rejeki pemilu." Di banyak daerah, praktik ini seolah menjadi "tradisi" yang dimaklumi. Bahkan ada ungkapan populer seperti "kalau bisa dapat uang, kenapa nggak?" atau "toh semua caleg juga sama saja."

Inilah yang membuat politik uang menjadi sulit diberantas. Banyak masyarakat tidak melihatnya sebagai pelanggaran moral atau hukum, melainkan sebagai bagian dari siklus pemilu yang "biasa saja." Ini adalah bentuk normalisasi praktik korupsi sejak awal proses demokrasi berjalan.

Padahal, jika kita renungkan kembali nilai-nilai Pancasila, khususnya sila keempat: "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan", politik uang merupakan bentuk pengkhianatan terhadap esensi demokrasi itu sendiri. Sila keempat mengajarkan bahwa pemimpin dipilih dengan bijaksana melalui diskusi, nilai moral, dan kesadaran kolektif. Tapi politik uang mengubah semua itu menjadi transaksi, menjadikan suara rakyat sekadar komoditas.

Fenomena politik uang ini bisa dilihat dalam berbagai kasus nyata. Misalnya, pada Pemilu 2024 di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, seorang caleg dari Partai Golkar, Sabam Sibarani, diduga membagikan uang kepada warga di Kecamatan Silahisabungan. Video aksi tersebut beredar luas di media sosial, namun sayangnya, Bawaslu Dairi justru menghentikan proses penanganan kasus ini. Akibatnya, tiga komisioner Bawaslu dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) atas dugaan pelanggaran kode etik.

Kasus lain terjadi di Bengkulu Selatan pada Pilkada 2020, di mana Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk mengadakan pemungutan suara ulang (PSU). Pasalnya, ditemukan bukti praktik politik uang yang dilakukan oleh salah satu pasangan calon. Pemberian uang sebesar Rp100.000 kepada pemilih terbukti secara sah sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip pemilu yang jujur dan adil.

Tak hanya itu, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jawa Timur pada Pilkada Serentak 2024 melaporkan 25 dugaan kasus politik uang. Praktik ini tidak hanya berbentuk uang tunai, tapi juga sembako dan janji program bantuan. Kota-kota seperti Gresik, Jember, dan Surabaya tercatat sebagai wilayah yang rawan praktik tersebut.

Dampak dari politik uang sangat nyata. Pertama, kualitas pemimpin menjadi taruhan. Mereka yang membeli suara sering kali memandang jabatan politik sebagai investasi, bukan sebagai amanah. Alhasil, kebijakan yang dihasilkan pun lebih mementingkan elite dan kroni ketimbang rakyat. Kedua, politik uang merusak kesadaran kritis masyarakat. Ketika suara sudah dijual, keberanian untuk mengkritik atau menuntut pemimpin pun turut memudar. Demokrasi menjadi ritual kosong, sekadar formalitas lima tahunan yang jauh dari semangat permusyawaratan.

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Langkah awalnya adalah menyadari bahwa suara kita bukanlah barang dagangan. Kita punya hak, tetapi juga tanggung jawab moral untuk memilih pemimpin yang berkualitas. Jangan mudah tergoda dengan serangan fajar atau iming-iming sesaat. Cermati rekam jejak, visi, dan integritas calon. Lebih penting lagi, kita sebagai masyarakat harus berani menolak dan melaporkan praktik politik uang, sekalipun itu dilakukan oleh orang yang dekat dengan kita.

Meski tantangannya besar, kita juga tidak boleh kehilangan harapan. Di berbagai daerah, banyak gerakan anak muda yang mulai mengambil sikap. Misalnya, gerakan "Tolak Politik Uang" yang diinisiasi oleh pemuda lintas organisasi di Makassar, Yogyakarta, dan Malang menjelang Pemilu 2024. Mereka membuat kampanye edukatif lewat media sosial, mural jalanan, dan diskusi publik untuk menyadarkan warga agar tidak menjual suara mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun