Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Penulis Biasa

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Suami Harus Menggantikan Peran Istri, Ayah pun Menjadi Ibu

31 Oktober 2020   19:23 Diperbarui: 31 Oktober 2020   19:36 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ayah rumah tangga (tirto.id)

Judulnya sepertinya bombastis ya? Karena pasti terasa aneh, siapa saja yang merasa dirinya seorang ayah, tiba-tiba menjadi ibu, apa yang terjadi?

Sepertinya setiap orang akan mafhum, setiap pasangan memiliki kehidupan yang bisa jadi sama antara satu keluarga dengan keluarga lainnya. Tapi, tidak sedikit yang harus menjalani kehidupan yang berbeda. Seperti ketika sang suami tidak mampu lagi bekerja, maka peran dirinya terpaksa digantikan oleh sang istri. Sehari-hari istri membanting tulang dan memeras keringat untuk mencari rezeki. 

Hal tersebut terjadi bisa jadi karena suami baru saja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) jadi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sang istri terpaksa menjadi tulang punggung keluarga. Meskipun ketika peran itu tertukar, rasa-rasanya pihak istripun akan merasa lelah dan jenuh jika harus menanggung beban keluarga.

Contoh lain pertukaran peran itu bila sang istri jatuh sakit, lumpuh atau mengalami kematian, sedangkan sang suami belum mencari pengganti yang baru, maka sudah pasti peran istri digantikan sang suami. Bagaimana ia harus mengurus anak-anaknya, seperti memasak, mencuci pakaian, dan segala tetek bengek urusan dapur pastilah dikerjakan sang suami. 

Pada posisi ini bukan karena paksaan, tapi memang kerelaan dan tuntutan atas ketiadaan istri. Jika sang suami memang orang cukup budget, maka tidak sulit mencari asisten rumah tangga. Namun, jika kehidupannya pas-pasan, maka ia harus siap-siap menghandel semua pekerjaan rumah dari bangun hingga tidur  lagi.


Istri Merantau Ke Luar Negeri, Suami Menjadi Ayah Rumah Tangga

Inilah kisah nyata yang kami alami, di mana tiga tahun yang lalu sang istri nekat merantau ke luar negeri. Alasannya ingin mencari kehidupan yang lebih baik di perantauan. Ada yang yang menyebutnya mengubah nasib dengan mencari penghasilan yang tinggi.

Kisah ini tentu banyak yang dialami keluarga lain, dan keluarga kami salah satu yang ternyata harus menerima kenyataan berpisah jarak yang sangat jauh gegara urusan ekonomi.

Apa yang terjadi ketika sang istri merantau? Terus terang, awalnya tidak percaya kenapa harus mengerjakan semua pekerjaan rumah. Saya sempat panik, kira-kira bisa nggak mengerjakan semuanya. Alasannya saya adalah seorang pegawai negeri sipil dengan rutinitas pekerjaan yang berat, sedangkan anak-anak berjumlah 3 orang juga masih mengenyam pendidikan.

Rasanya berat sekali ketika awal-awal menjalani semua. Bahkan tidak sedikit keluh begitu saja lahir dari batin, rasa-rasanya nggak kuat jika harus menjalani.  

Bagaimana tidak pani, dua anak masih di SD dan yang sulung di pondok pesantren yang setiap minggu harus ditengok ayahnya karena beberapa hal. Sedangkan anak yang lain setiap hari harus diantar jemput sekolah. Untuk anak pertama anggaplah tidak terlalu masalah, asalkan semua kebutuhan sudah terpenuhi, saya sudah bisa mengurus rumah lagi, sedangkan urusan di pesantren sudah diurus oleh pengurusnya. 

Sedangkan anak kedua dan ketiga, karena mereka harus diantar jemput, maka setiap hari ayahnya harus mengantarkan mereka ke sekolah. Pernah beberapa hari dititipkan tukang ojek, nyatanya sang anak lebih suka dijemput ayahnya. Maka acapkali saya harus bergegas menjemput anak ketika jam sekolah masih istirahat.

Selain itu, masalah yang lebih besar tiba-tiba muncul, ketika anak sulung mengeluh sakit, maka otomatis saya harus mengurus sendiri pengobatannya hingga sembuh. Bayangkan memikirkan dua anak yang harus sekolah setiap hari sedangkan ayahnya harus mengurus kakaknya yang tengah sakit. Kadang dalam pikiran ada keinginan untuk menikah lagi, lantaran merasa tidak mampu melalui sendirian. 

Itu baru urusan pekerjaan dan urusan antar jemput anak-anak, karena pekerjaan rumah pun harus dikerjakan pula. Tidak peduli apakah kondisi tengah sakit, banyak pekerjaan kantor dan seabrek masalah karena anak yang juga mengalami kendala di sekolah.

Pada saat itulah ketika peran sebagai mengurus rumah tidak bisa digantikan oleh suami. Seandainya bisa, tentu karena pekerjaan sudah dihandel sang istri. Tapi, secara naluri, seorang suami adalah bertindak mencari nafkah, kecuali memang tengah menganggur dan sulit mencari pekerjaan, maka urusan di rumah juga bisa dikerjakan bersama-sama.

Menjadi Ibu Rumah Tangga Itu Berat, Maka Jangan Diremehkan

Boleh jadi ada dalam pikiran suami bahwa pekerjaan mengurus rumah tangga itu ringan. Dalam pikirannya sering mengatakan, "kerjaan di rumah mah enteng, lebih sulit mencari uang." Apakah pernyataan ini benar? Tidak sama sekali.

Karena setiap pekerjaan memiliki konsekuensi risiko dan tanggung jawab yang harus ditunaikan. 

Seperti bagi seorang ibu rumah tangga, maka mereka harus benar-benar mengurus rumah dan anak-anak. Apabila dihitung jamnya bisa berlaku 24 jam. Sejak pagi mereka harus memasak, membersihkan rumah, mengurus anak-anak dan seabrek pekerjaan yang sepertinya tidak ada habisnya. Sedangkan suami rata-rata berpatokan urusan mencari uang. Pagi berangkat kerja dengan keadaan rumah yang bisa jadi berantakan, dan pulang keadaan sudah bersih dan semua tertata rapi, anak-anak pun sudah ke sekolah dengan pakaian yang licin.

Nampaknya jika pekerjaan itu dihandel semua oleh ibu yang disebut ibu rumah tangga itu, rasa-rasanya dibayar ratusan juta pun tidak cukup untuk membayar kerja keras mereka mengurus rumah dan suaminya. Apalagi jika sang istri adalah pekerja pula, seperti sang istri kecil-kecilan juga mengelola PAUD dan PKBM yang kini dirintisnya. Maka pekerjaan pun harus dibagi agar tidak terlalu membebani.

Dalam situasi tersebut maka tidak heran jika saya harus membantu mencuci, menyapu halaman, atau mencuci piring dan persiapan sekolah anak. Demi pekerjaan bisa tuntas, maka pekerjaan pun harus dibagi agar beban pekerjaan tidak hanya diasakan pihak perempuan.

Jika pekerjaan itu tidak dibagi, maka alangkah badan seperti ditindih beban yang maha berat. Nah, jika sang istri merasakan beban pekerjaan yang sepertinya tidak pernah selesai, maka akan muncul emosi, marah-marah pada anak serta uring-uringan.

Pada saat itu, suami semestinya menyadari dan turut mengambil peran bagaimana meringankan pekerjaan pasangannya.

Bahkan menurut saya, seorang ibu ketika rela menjadi ibu rumah tangga, maka ibu tersebut sudah siap terkurung di dalam rumah dengan aneka pekerjaan yang seperti tidak ada habisnya. Sedangkan sang ayah, lebih banyak menghabiskan waktunya di luar. Meskipun dengan pekerjaan yang bertumpuk, nyatanya masih bisa merasakan hiburan karena aktivitasnya lebih bebas.

Bagaimana dengan seorang ibu rumah tangga? Jangankan memiliki waktu jalan-jalan, kadang kalau penghasilan pas-pasan, maka ia pun harus bersiap-siap mencari pemasukan demi mencukupi kebutuhan keluarga. Lalu kapan mereka akan merasakan bahagia?? 

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun