Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Penulis Biasa

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Benarkah Menjadi TKI Itu Musibah, atau Justru Barokah?

27 Maret 2014   17:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:23 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1395908611521577585

[caption id="attachment_328876" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/ Kompasiana (Kompas/Heru Sri Kumoro)"][/caption]

Benarkah Menjadi TKI itu Musibah, Atau Justru Barokah?

Menjadi TKI atau TKW sejatinya merupakan usaha untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik. Menurut para pekerja ini sering disebut dengan cara  untuk "mengubah nasib". Nasib yang awalnya buruk karena kekurangan ekonomi, mesti diubah menjadi nasib yang lebih baik lagi. Syukur-syukur kesuksesan didapat dan dapat menjadi modal usaha di tanah air.

Begitu pula apa yang dilakukan oleh salah satu kerabat di kampung, sosok perempuan dengan inisial Nia ini tak terlihat sedih atau menderita, lantaran karena kehidupannya sekarang berubah. Setelah keberangkatannya ke Taiwan menuai hasil yang cukup berlimpah. Dengan gaji yang tak sedikit (tanpa menyebut jumlah gajinya) saat ini perempuan ini sudah dapat membangun rumah idamannya. Bahkan rumah orang tuanya pun sudah dibuat permanen. Karena sebelum keberangkatannya ke perantauan rumah orang tuanya geribik dan saat ini sudah menjadi tempat tinggal yang patut.

Tak hanya dua rumah yang kini dimiliki, saat inipun keluarganya sudah dapat menikmati sebuah toko kelontong yang cukup lengkap dengan sederet barang belanjaan yang juga menjadi aset berharga selama ia menjadi TKI. Toko yang selama ini menjadi hiburan sang suami dan kedua anak-anaknya tatkala sang istri merantau ke negeri seberang.

Keberhasilan di atas ternyata masih dilengkapi lagi dengan rencana akan dibelinya sebuah mobil dengan harga yang saya sendiri tak mampu membelinya. Tentu saja semua itu adalah upah atau hasil panen dari bekerja sebagai TKI. TKI yang sukses dengan majikan yang bertanggung jawab terhadap pekerjanya.

Tak hanya bu Nia yang mendapatkan kehidupan yang mapan di kampung halaman, karena ada pula seorang TKI di Arab Saudi yang tidak hanya materi yang didapatkan. Perjalanan spiritual pun menjadi catatan penting kehidupannya selama di perantauan.

Orang menyebutnya dengan panggilan Bagong, dengan berbekal pinjaman kini ia mampu mengumpulkan pundi-pundi uang demi keluarganya. Karena awalnya kehidupan Bagong amatlah sederhana dan kehidupan keagamaannya pun sedikit alpa. Ibadah yang semestinya dijalankan harus ditinggalkan karena terlalu sibuknya mencari nafkah.

Hidayah dan rezeki memang di tangan Tuhan, berbekal keyakinannya untuk "ngawulo" di negeri orang, Bagong pun saat ini sudah memiliki cukup simpanan untuk meningkatkan kehidupannya. Bahkan yang membuat saya terharu adalah karena selama di Arab Saudi justru "sang Bos" memberikan kesempatan untuk menunaikan haji. Haji yang teramat sulit dilakukan jika tak memiliki biaya yang cukup.

Secara materi Bagong mendapatkan uang hasil jerih payahnya dan secara immateri ia mengalami perjalanan spiritual yang cukup mengesankan.

Bekerja di luar negeri hakekatnya tidak semuanya berbau "kekejaman" karena ada di antara mereka yang justru menikmati kenikmatan materi karena mendapatkan pekerjaan atau sosok majikan yang bertanggung jawab serta perusahaan yang benar-benar menghargai para karyawannya. Dan lebih dari itu ada sisi perjalanan rohani seseorang menuju tingkat keagamaan yang sempurna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun