Makam Chairil di TPU Karet Bivak Sejak di kelas 1 sekolah dasar -saya sekolah di SDN XIV Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah- saya sudah mengenal Chairil Anwar sebagai seorang sastrawan. Ibu dan kakak perempuan saya memang termasuk dalam kategori "sastrawan pasif", yakni para penikmat karya sastra. Sedang saya, yang semenjak masih berumur tujuh tahun, sudah mengagumi sosok Chairil Anwar melalui karya-karya puisinya. Saya mengagumi Chairil Anwar sesudah membaca beberapa tulisannya yang asli, khususnya yang berjudul "Aku", Ibu saya memiliki buku Deru Campur Debu yang asli, sayang... kini sudah musnah entah kemana. Sajak Chairil dikompilasi dalam tiga buku : "Deru Campur Debu" (1949); "Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus" (1949); dan "Tiga Menguak Takdir" (1950) kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin. Sajak-sajak pilihan karya Chairil Anwar dalam sebuah buku berjudul "Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949", disunting oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986), pernah saya miliki, namun kemudian dipinjam seorang teman dan kemudian -sudah saya ramal- tidak kembali. Chairil Anwar lahir 26 Juli 1922 di Medan dan meninggal 28 April 1949 di CBZ (RSCM) Jakarta. Ia mulai menulis sajak ketika menapak usia 21 tahun hingga akhir hayatnya menjelang usia 27 tahun. Dia meninggal akibat TBC, Tifus dan Spilis, seakan menjadi bukti bahwa dia memang "binatang jalang" yang terbuang dari kumpulannya. Simaklah sajak yang awalnya bertajuk ‘Semangat’ sebelum berganti menjadi "Aku": “Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Aku mau hidup seribu tahun lagi” Ia produktif menulis puisi yang kebanyakan bertema kematian, tentang Ketuhanan dan perjuangan yang menggugah semangat anak muda. Salah satu sajaknya yang terkenal dan juga sangat saya suka adalah "Krawang-Bekasi" (1948). Kendati tidak tamat SMP( MULO), Chairil Anwar fasih bicara bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman; Gagasannya, baik yang diwujudkan dalam sejumlah sajaknya, maupun dalam esai-esainya yang menegaskan sikap hidup dan pandangannya tentang kesusasteraan dan kebudayaan Indonesia, sangat inspiratif. Tidak hanya mempengaruhi teman-teman sesama sastrawan, tetapi juga para seniman. Chairil Anwar memang memiliki reputasi menonjol, tidak hanya menjadi salah satu ikon kesusasteraan Indonesia, melainkan telah menanamkan tonggak penting dalam sastra Indonesia .
Sri Ayati Di bawah ini adalah salah satu dari 74 puisi yang ditulis Chairil Anwar. Melihat judulnya "Senja di Pelabuhan Kecil (buat Sri Ayati)" kita sudah mahfum bila sajak diperuntukkan bagi seorang wanita cantik bernama Sri Ayati, salah seorang gadis yang pernah diburunya, sekaligus pujaan hatinya. Puisi cinta yang ditulis Chairil Anwar ini melukiskan sebuah percintaan yang sangat indah. Energi asmara dan rintihan kalbu yang dipancarkan mampu bertahan terus sampai sekarang. Senja di Pelabuhan Kecil (buat Sri Ayati) Ini kali tidak ada yang mencari cinta Di antara gedung, rumah tua, pada cerita Tiang serta temali, kapal, perahu tidak berlaut Menghembus diri dalam mempercaya maut berpaut Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kepak elang Menyinggung muram, desir hari lari berenang Menemu bujuk pangkal akanan.Tidak bergerak Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan Menyisir semenanjung, masih pengap harap Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan Dari pantai ke empat, sedu penghabisan bisa terdekap. Apakah Anda juga merasakan energi asmara, "the power of love" rintihan dan ratapan kasih dari puisi tersebut? Agar mudah meresapinya, cobalah ikuti latar belakang inspirasi sajak ini. Sri Ayati lahir di Tegal 19 Desember 1919. Sejak berumur 8 tahun ayahnya membawanya pindah ke Jakarta yang membuatnya lebih sering merasa sebagai orang Betawi daripada Jawa. Ia pernah menjadi penyiar radio Jakarta Hoso Kyokam pada masa pendudukan Jepang -tempat yang sekarang menjadi gedung RRI Pusat. Lihatlah betapa cantiknya Sri Ayati, sketsa karya Basuki Abdullah dalam gambar yang diambil dari http://nozqa.multiply.com. Konon dari sinilah perempuan yang menguasai beberapa bahasa asing ini bertemu dengan Chairil Anwar, sosok pemuda berperawakan kecil berkulit putih dengan mata selalu memerah (mungkin karena kurang tidur) dan rambut acak-acakan. Satu hal yang menjadi ciri khasnya adalah tangannya yang selalu membawa beberapa buku ke mana pun ia pergi, mencerminkan pribadi yang selalu haus akan ilmu. Mereka berdua bergaul dan berteman secara wajar, tak terlihat adanya sebuah ikatan emosi yang khusus. Namun siapa sangka ternyata sang pujangga memendam bara asmara terhadap perempuan yang di masa mudanya begitu cantik ini. Seorang maestro seni lukis, Basuki Abdullah pun pernah mengabadikan wajahnya dalam bentuk goresan sketsa. Hal ini cukup menjadi bukti tentang kecantikannya di masa lalu, meski yang bersangkutan sendiri menyangkalnya. Sebuah sisi yang menunjukkan kerendahan hatinya, barangkali. Sebuah cinta yang tak pernah terungkapkan sebelumnya, sampai akhirnya mereka menemukan pasangan hidup masing-masing, Sri Ayati dengan dr. R.H. Soeparsono (menikah pada tahun 1944) sementara Chairil Anwar menikah dengan Hapsah Wiriaredja (asal Karawang, Jawa Barat) pada tahun 1946 (dikaruniai satu-satunya anak bernama Evawani Alissa), tahun yang sama saat ia mencipta puisi berjudul "Senja di Pelabuhan Kecil" tersebut. "Senja di Pelabuhan Kecil" dinilai oleh kritikus sastra HB Jassin berisi ‘kerawanan hati, suatu kesedihan yang mendalam yang tidak terucapkan.’ ”Saya tahu dari almarhumah Mimiek, anak angkat Sutan Syahrir, bahwa Chairil Anwar membuat sajak untuk saya,” kata Sri Ayati. Bila saya menyukai "Senja di Pelabuhan Kecil", bukan karena senasib dengan Chairil Anwar, yang menikah dengan wanita bukan pujaannya. Saya suka, sebab semangat cinta, aura kasih dan ratapan pilu yang memancar dari setiap kata sajak ini sungguh-sungguh luar biasa menghunjam kalbu. Barangkali saja, Chairil tidak lagi menggubris kondisi fisiknya karena patah hati tak bersatu dengan sang kekasih. (Lebih jauh simak juga sumber ide tulisan ini: http://blog.bukukita.com/users/arild_94/?postId=8048, http://www.youtube.com/watch?v=6Y7XnBIPWko, http://alwishahab.wordpress.com/2007/08/03/bertemu-pujaan-chairil-anwar, http://www.borobudurlinks.com/2010/04/misteri-sri-ayati-dalam-senja-di.html, gambar makam Chairil Anwar: http://id.wikipedia.org/wiki/Chairil_Anwar).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Puisi Selengkapnya