Kecepatan untuk apa? Pertanyaan ini menghantui setiap pencapaian teknologi. Kereta tercepat di bumi melayani tujuan manusia apa?
Itu adalah untuk menghubungkan manusia yang memungkinkan perdagangan dengan menghemat waktu, yang merupakan sumber daya kita yang paling berharga dan tak terbarukan. Namun, di balik manfaat praktis ini, terdapat sesuatu yang lebih dalam, dan mungkin itulah yang membuat kita terus maju. Bukti bahwa manusia masih dapat menciptakan kembali dunia mereka. Jika kita tidak bisa, mengapa bangun di pagi hari?
Ketika kita menyaksikan kemajuan teknologi yang sesungguhnya, bukan saja untuk peningkatan bertahap pada kamera ponsel pintar atau layanan streaming yang dianggap sebagai inovasi saat ini, melainkan perubahan mendasar dalam kemampuan manusia dan kita diingatkan tentang apa yang mungkin terjadi.
Kereta maglev Tiongkok ini merupakan sebuah penegasan, bahwa kita tidak perlu menerima dunia sebagaimana adanya. Batas kecepatan dapat ditembus. Fisika dapat dimanfaatkan. Jarak dapat ditaklukkan.
Inilah salah satu alasan yang sangat mengejutkan dengan saran seseorang bahwa pengisi daya cepat BYD tidak melanggar Hukum Ohm (Hukum Ohm menyatakan bahwa arus listrik yang melalui konduktor antara dua titik berbanding lurus dengan tegangan di kedua titik tersebut). Hukum selalu dilanggar. Aturan tetaplah aturan sampai pengecualian menjadi aturan. Kita tidak perlu menerima dunia sebagaimana adanya. Dan, bisa dibilang, tidak ada yang kekal.
Di Depan Menjadi Pilihan Kita
Masyarakat Barat & AS menghadapi sebuah pilihan. Mereka bisa melanjutkan kemunduran mereka yang nyaman, membangun sedikit, tanpa risiko apa pun, mengelola warisan teknologi mereka yang semakin menipis atau mereka bisa mengingat cara membangun.
Bukan hanya kereta api, tapi tentu saja juga. Melainkan jalan raya, sistem energi bersih, manufaktur canggih, tenaga nuklir generasi mendatang, teknologi medis revolusioner dan semua sistem fisik yang memungkinkan peradaban.
Kereta api berkecepatan 600 km/jam dari Tiongkok seharusnya membangunkan Barat & AS dari tidur teknologi. Bukan untuk meniru Tiongkok, masyarakat mereka sangat berbeda dalam nilai dan organisasi, melainkan untuk bersaing dengan ambisinya, kemauannya untuk mewujudkan visi menjadi kenyataan.
Apa yang menghentikan Barat dan AS? Sklerosis regulasi. Polarisasi politik, tentu saja. Namun, di balik semua ini terdapat sesuatu yang lebih mendasar: kegagalan keberanian, hilangnya kepercayaan pada kemajuan itu sendiri.