Mohon tunggu...
Majawati
Majawati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Keberagaman itu indah. Mengajari untuk menghargai perbedaan, harmonisasi dan saling melengkapi

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Kampoeng Kajoetangan Heritage Wisata Budaya ala Blusukan

8 November 2018   16:29 Diperbarui: 10 November 2018   06:36 3611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pintu Masuk Kampoeng Kajoetangan Heritage

Pagi itu saya meluncur ke kawasan tengah kota Malang, tak jauh dari Alun-Alun kota Malang yaitu kawasan Kayutangan. Tepatnya di Jl. Arif Rahman Hakim gang 2 atau dulu dikenal dengan sebutan Gang Talun Es, karena di depan gang ini terdapat depot es campur yang sangat terkenal. Memasuki gerbang gang ini tertulis "Kampoeng Wisata Kajoetangan", masih memakai ejaan lama, karena yang ditonjolkan oleh kampung ini adalah kejadulannya. 

Setelah melewati gerbang akan disambut dengan Peta Kampoeng Kajoetangan, sehingga pengunjung bisa mempunyai gambaran objek wisata apa saja yang bisa ditemui di dalamnya. Sebuah spanduk hitam bertulisan "Sugeng Rawuh" sebagai ucapan selamat datang kepada pengunjung, Di dekat spanduk diletakkan sepeda kuno. 

Rumah pertama yang saya dapati adalah rumah Pak Iink selaku anggota manajemen Kampoeng Kajoetangan. Pak Iink yang berprofesi sebagai fotografer menampilkan barang-barang jadul yang dipajang di depan rumahnya. 

Ada vespa kuno, kursi berlilitkan tali plastik, meja dan kursi kayu kuno dengan hiasan ceret-ceret hijau serta termos adalah gambaran barang-barang tempo dulu yang sekarang lagi hits karena kejadulannya.

Di depan rumah ini, pengunjung bisa melakukan sesi foto dengan latar yang cantik, pastinya instagramable. Pada hari Minggu atau saat ada event akan dijual berbagai souvenir khas berupa kaos, pin, tempelan kulkas, udeng Malang dan sebagainya. Di ruang tamu rumah Pak Iink juga dijadikan spot foto berupa pajangan puluhan camera koleksinya, tv dan radio kuno. Pengunjung bisa mengambil gambar di sini.

Rumah Foto (dokpri)
Rumah Foto (dokpri)
Tak berapa lama, saya disapa seorang wanita berjilbab sambil tersenyum dan mengulurkan tangan ke saya. "Mbak Mila, ya," tebak saya. Beliau pun tersenyum dan mengangguk mengiyakan. Kami pun bersalaman saling berkenalan. Mbak Mila juga anggota manajemen Kampoeng Kajoetangan yang akan memandu saya blusukan. Haruskah dengan jasa pemandu? Ini adalah kedatangan saya yang kedua. 

Kedatangan saya yang pertama saya hanya berminat untuk foto-foto saja, memang ada petunjuk jalan menuju lokasi objek wisata tetapi pada kenyataannya saya tak dapat menemukan lokasi-lokasi itu dengan mudah. Akibatnya tidak semua objek yang tercantum di brosur dan merupakan bangunan-bangunan iconic bisa saya temukan.

Mengingat lokasi kampung ini sangat luas, meliputi 3 RW, maka kunjungan dengan bantuan pemandu akan sangat efisien, berkesan dan mendapatkan informasi-informasi sejarah yang pasti. Dengan perjanjian saya menghubungi manajemen yang ada di brosur dan memohon jasa pemandu.

Penataan dan perabot rumah ala tempo dulu (dokpri)
Penataan dan perabot rumah ala tempo dulu (dokpri)
Kunjungan kedua setelah Rumah Foto, saya menuju Rumah Jamu. Rumah bercat hijau ini milik Bu Esther, seorang wanita tua yang ditemani anak angkatnya Pak Seno. Ayah Bu Esther dulu adalah seorang sinshe, sekarang Bu Esther berjualan jamu bersama anak angkatnya. Bu Esther menerima kedatangan saya bersama Mbak Mila dengan ramah. 

Kami dipersilahkan duduk di sofa yang terbuat dari anyaman rotan tipis berpadu dengan ukiran kayu. Kursi tamu model ini sangat terkenal di zaman saya kecil. "Jamu sekarang banyak yang tidak lengkap," kata Bu Esther. Rupanya dengan perkembangan zaman, jamu adukan mulai ditinggalkan orang. Produsennya jadi mengurangi produknya. Namun Bu Esther tetap setia berjualan jamu dibantu putra angkatnya itu. 

Setelah bincang-bincang sejenak, kami melanjutkan blusukan. Rumah berikutnya adalah Gubuk Ningrat, ini adalah rumah Pak Rizal yang menjadi pengurus manajemen juga. Rumah ini berhadapan dengan Rumah Punden. Pemilik rumah Punden mempersilahkan kami masuk ke rumahnya bila mau mengambil gambar. Di rumah Punden saya temukan nuansa ruang tamu priyayi khas Jawa. Sofa bludru, foto-foto orang tua, barang-barang keramik dan berbahan kuningan menjadi pajangannya, perabotnya terbuat dari kayu.

 Dengan jasa pemandu pengunjung tidak sekedar foto di teras rumah, tetapi juga bisa masuk sampai ruang tamu ketika pemiliknya ada. Ada kaleng donasi yang dapat diisi secara sukarela oleh pengunjung. Kampoeng Kajoetangan ini benar-benar masih swadaya masyarakat setempat, sehingga donasi yang kita berikan akan memberi manfaat bagi perawatan rumah-rumah tersebut.

Apalagi rata-rata pemiliknya sudah tua, pastilah donasi ini akan sangat membantu. Di belakang Gubuk Ningrat ada Rumah Jacoeb, pemilik pertama rumah ini adalah Pak Jacoeb yang berprofesi sebagai pegawai negeri yang suka melukis. Hasil lukisannya pernah mendapat pernghargaan. 

Rumah Pak Jacoeb saat ini ditempati oleh anak dan cucunya. Rumah bercat coklat berpadu kuning dengan sekat-sekat kaca diantara kusen kayunya benar-benar gaya khas masa lalu. Lantainya masih teraso kombinasi warna kuning dan abu-abu. 

Salah satu ciri khas dari rumah lama adalah memiliki dua rangkaian kursi tamu. Yang pertama berupa sofa panjang untuk tiga orang dan 2 sofa single beserta meja pendek di tengah-tengah, Yang kedua, biasanya berada persis di belakang pintu masuk, berupa sepasang kursi seukuran kursi makan dengan meja tinggi diantara kedua kursi. Taplak selalu terhampar di atas meja. Di beberapa rumah saya masih menemukan cermin oval berbingkai kayu dengan tempat gantungan di bagian bawahnya.


Keluar dari Rumah Jacoeb saya dan Mbak Mila kembali menyusuri kampung melewati pinggir sungai  kecil yang ada di dalam kampung, jalan di kampung berupa gang yang berjarak sekitar satu setengah meter antar rumah memang sudah biasa di kampung. Jalanan kampung itu unik, bisa berlika-liku mengikuti tata letak bangunan, ada banyak jalan tembusannya juga. Kunjungan berikutnya menuju rumah sutradara terkenal almarhum Abbas Akup, saat ini rumah itu ditempati oleh adiknya yang juga seniman lukisan 3 dimensi dari bahan limbah karet. Bentuk rumahnya seperti galery. Abbas Akup adalah sutradara film Inem Pelayan Sexy.

Mbak Mila juga mengajak saya ke Makam Eyang Honggo Kusumo atau sering disebut Mbah Honggo yang berada di lingkungan kampung tersebut. Mbah Honggo merupakan perintis Kampoeng Kajutangan sehingga dimakamkan di sana. Beliau juga menjadi guru ngaji anak bupati Malang yang pertama. Di kampung ini ada  juga makam lain yang disebut Kuburan Tandak. Di sana dimakamkan prajurit rekan Mbah Honggo. Mendapat sebutan Kuburan Tandak karena tempat itu dulunya digunakan para penari (tandak) merias diri sebelum manggung. Jadi di daerah itu dulu banyak penari tradisional yang disebut tandak.

kampung-kjt-3-5be3fdfe43322f456f52a7b2.png
kampung-kjt-3-5be3fdfe43322f456f52a7b2.png
Menyusuri jalan kampung kita akan menemukan aneka kegiatan warga. Ada yang berjualan kue di depan rumah, ada pedagang sayur di pinggir gang, toko-toko kelontong dan juga warung. Warga juga suka duduk-duduk di depan rumah, bercengkrama dengan tetangga. Kampung ini bersih, tetapi memang tidak disediakan tempat sampah di pojok-pojok gang. Tempat sampah justru membuat kotor gang, karena seringkali dibongkar oleh kucing. Oleh karena itu bagi pengunjung yang datang sekiranya tidak buang sampah sembarangan. Bawa pulang kembali sampah yang mungkin dibawa. Kampung ini bersih karena warga rutin kerja bakti.

Beberapa rumah berikutnya kami tidak lagi mampir karena waktu yang terbatas, tetapi kami lewati saja. Ada rumah Nyik Aisyah di dekat makam Mbah Honggo yang dulunya dijadikan pendopo. 

Rumah ini atapnya berbentuk pelana, di mana di bagian atasnya ada tambahan bangunan yang mirip pelana. Ada pula Rumah Kebaya, berupa bangunan kuno yang besar ukurannya dan saat ini disewa oleh seorang desainer kebaya yang karya-karyanya sangat terkenal. Rumah ini terletak di depan gedung RW.

Melewati gang kecil di sebelahnya, sampailah kami ke Rumah Cerobong, karena rumah ini dulunya mempunyai cerobong yang besar sampai ke atas. Pemiliknya berprofesi sebagai tukang masak.  Dari sana kami lurus keluar menuju Jalan Kayutangan. 

Rumah no 31 dinamakan Rumah Namsin. Rumah ini dibangun oleh Belanda sekitar tahun 1900, kemudian dibeli oleh keluarga Namsin. Saat ini rumah ini tidak lagi dihuni, hanya sesekali dibuka dan dibersihkan.Tetapi barang-barang dan kondisi rumah masih asli dan terawat baik.


Kembali memasuki kampung, panas mulai menyengat karena matahari mulai tinggi. Saya dan Mbak Mila masih melanjutkan perjalanan. Kami menuju Rumah penghulu, karena di sana dulu tinggal seorang penghulu. Rumah ini juga mempunyai tipe atap pelana. Di sampingnya ada Rumah Jengki, bernuansa warna hijau dengan atap berbentuk segitiga yang runcing. 

Dinamakan rumah jengki karena bentuknya tidak pada umumnya dibandingkan dengan rumah-rumah sekitarnya. Beberapa meter ke arah belakang  dari situ akan ketemu dengan Rumah 1870, merupakan rumah tertua di kawasan itu yang masih mempertahankan gaya aslinya.

 Rumah ini dibangun pada tahun 1870. Terdapat ukiran kayu yang ditata berbaris  sebagai ornamen atap terasnya, pintu rumah dari kayu yang kokoh dan jendela besar di sebelah kanan kirinya. Di depannya ada teras kecil yang dipagari tembok. Rumah ini cukup terawat dan masih ditinggali.

Sebagaimana kawasan pemukiman penduduk pada umumnya, kehadiran pasar sangatlah penting. Pasar kecil di suatu wilayah tanpa bangunan permanen disebut Pasar Krempyeng. Masyarakat Jawa sudah mengenalnya. Di Kampoeng Kajoetangan ini juga terdapat pasar krempyeng, tetapi sekarang kondisinya sudah bagus. Ada stand-stand nya dan setiap stand telah dilapisi keramik, sehingga tampak bersih. Setiap hari Rabu adalah hari pasaran, ada banyak penjual yang berdagang macam-macam di hari Rabu yang datang ke situ.

Perjalanan dilanjutkan ke arah Jalan Semeru, Mbak Mila mengajak saya untuk melewati Terowongan Semeru sebuah lorong bawah jembatan yang menghubungkan wilayah Kayutangan sebelah selatan dengan Kayutangan sebelah utara. Di atas jembatan itu adalah Jalan Semeru. Terowongan ini adalah bangunan Belanda yang kokoh sampai sekarang. 

Dari sana kami menyusuri pinggir sungai dan sampai di rumah Jalan Arjuno Gang 1. Desain rumah ini mempunyai pintu dan jendela ganda. Warnanya perpaduan dari coklat dan putih. Sambil menuju arah pulang saya melewati Trundakan Sewu, yaitu tangga  menuju Jalan Dorowati yang banyak sekali anak tangganya.

Dalam perjalanan pulang saya bertanya kepada Mbak Mila, "Apakah setelah menjadi kampung wisata berdampak pada pertumbuhan ekonomi warga?" Mbak Mila menjawab,"Pasti, Bu! Masyarakat di sini menjadi bangkit karena merasa punya kebanggaan pada kampungnya. Mulai ada yang berjualan makanan, jamu di saat event-event tertentu." 

Namun karena penetapan Kampoeng Kajoetangan ini baru pada 22 April 2018, maka manajemen memang masih perlu berbenah. Wilayahnya yang besar menjadi kendala untuk menggerakkan masyarakat secara bersama-sama mendukung program yang dicanangkan. Sebenarnya masih banyak bangunan lama di wilayah ini yang belum tercatat, nanti kedepannya akan terus bertambah.

Saya mengakhiri blusukan kami sekitar jam 10.00, berarti selama 2 jam cukup untuk blusukan secara lengkap sekalian mampir di beberapa rumah. Warga Kampoeng Kajoetangan cukup ramah menyambut pengunjung yang datang ke sana. 

Tetapi ada baiknya bila datang tanpa jasa pemandu para pengunjung bisa minta izin terlebih dahulu bila akan mengambil gambar dalam bentuk foto ataupun video kepada pemilik rumah, menjunjung tata krama pada masyarakat di sana saat berkunjung. Kami mampir ke Depot Es Talun untuk menikmati es campurnya yang legendaris, sambil melepas lelah. 

Saya terkesan sekali dengan wisata ala blusukan ini. Serasa kembali ke masa kecil, karena dulu pun saya tinggal di perkampungan dan  merasakan kedamaian, keguyuban hidup bertetangga di wilayah kampung. "Di sini tinggal warga multi etnis mulai dari Jawa, Tionghoa, Arab, India dan juga banyak mahasiswa dari Indonesia Timur yang ngekos di wilayah ini," tambah Mbak Mila. 

Wisata ala blusukan menyusuri kampung punya nilai edukasi budaya, membawa pada nostalgia masa kecil. Saya sudah mencobanya, bagaimana dengan Anda? Ketika datang ke Malang cukup meluangkan waktu sejam saja untuk blusukan ke kampung wisata yang tersebar di Malang, salah satunya Kampoeng Kajoetangan Heritage.

Oleh : Majawati Oen

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun