Tepat pukul 7.30 armada Grab yang saya pesan siap mengantar saya menuju Lawang Sewu. Hari kedua liburan di Semarang memang berencana mengunjungi salah satu ikon sejarah Kota Semarang sebagai kunjungan yang pertama. Alasan utamanya adalah ketika pagi masih sepi pengunjung sehingga saya dapat mengambil foto dengan lebih leluasa dan tanpa banyak gangguan pengunjung lainnya.
Lawang Sewu sebagai ikon sejarah kota Semarang selama ini hanya selalu saya lewati ketika berkunjung ke Semarang. Beberapa kali saya mengikuti grup tour, selalu Lawang Sewu tidak ikut menjadi salah satu tujuan kunjungan wisata. Kepergian kali ini, saya bepergian sendiri.Â
Solo traveling memberi kebebasan mengatur rute kunjungan sehingga Lawang Sewu masuk dalam daftar kunjungan saya ke Semarang kali ini. Kemudahan informasi dan transportasi sangat membantu siapa saja untuk bisa ngeluyur sendirian dengan praktis, hemat dan efisien waktu.
Hanya sekitar 15 menit saya sampai di pintu masuk Lawang Sewu, sudah ada beberapa pengunjung yang berada di area itu. Tetapi tidaklah terlalu antre untuk membeli tiket masuk seharga Rp 10 ribu per orang.Â
Saat membeli tiket, saya ditawari untuk menggunakan jasa guide. Tentu saja saya mau, untuk apa kita mengunjungi suatu ikon sejarah tanpa tahu sejarahnya.Â
Seorang pria berbaju batik seragam para guide Lawang Sewu mendekati saya dan menawarkan diri. Tanpa basa-basi saya langsung menanyakan biayanya. Transaksi jelas diawal adalah penting. Beruntung saya mendapat jawaban langsung, "Lima puluh ribu". Ukuran yang pantas untuk jasa guide di sekitar Jawa Tengah.
![dok.pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/05/06/smg-1-5aee49f7dd0fa8147054b8b3.jpg?t=o&v=770)
"Kata Lawang Sewu adalah berasal dari budaya Jawa, orang Jawa selalu menggunakan kata sewu untuk jumlah yang banyak, contohnya binatang kaki seribu, Grojogan Sewu. Lawang artinya pintu, sewu mewakili kata banyak. Lawang Sewu artinya bangunan dengan banyak pintu. Namun bila dihitung, jumlah pintu di bangunan Lawang Sewu berjumlah 425 pintu," tutur Bapak Tour Guide tersebut.
Selanjutnya kami berjalan menuju bangunan berbentuk tabung yang ternyata di dalamnya ada sumur yang sudah sangat tua umurnya. Airnya masih sangat jernih yang digunakan untuk kebutuhan air di lingkungan Lawang Sewu. Ketika pintunya dibuka di dalamnya ada pompa besar untuk menyedot air dari dalam sumur. Gedung Lawang Sewu dibangun oleh Belanda pada tahun 1904 sampai dengan tahun 1907 oleh arsitek dari Amsterdam bernama Prof. Jacob F. Klinkhamer dan B.J. Ouendag.Â
Gedung ini dibangun sebagai Het Hoofdkantoor van de Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatscappij (NIS) atau kantor pusat perusahaan kereta api swasta. Dan sampai sekarang Gedung Lawang Sewu dijadikan Cagar Budaya dibawah pengawasan Dinas Perhubungan khususnya PT KAI. Beberapa bagian dari gedung saat ini ada yang masih mengalami pemugaran.
Bangunan Lawang Sewu dibangun dengan cermat dan mempertimbangkan beberapa aspek untuk fungsi jangka panjang. Dimana di bawah bangunan ada ruang bawah tanah yang berfungsi sebagai resapan air, peredam gempa serta pendingin ruangan.
 Beberapa bahan juga diimpor dari Belanda, oleh sebab itu kekokohan bangunan ini memang didukung oleh bahan-bahan berkualitas tinggi. Saluran air dari genting ke bawah juga ada di bagian samping gedung, sehingga bagian dalam gedung tampak rapi serta upaya perbaikan tak perlu merusak bagian dalam gedung.
Sebelum memasuki Gedung Utama, guide mengarahkan saya untuk melihat bangunan toilet yang hanya ada di bagian ujung gedung dan terpisah dari gedung utama. Ada dua toilet besar di Lawang Sewu, masing-masing berada di ujung gedung. Wastafel dan klosetnya masih bergaya kuno dan berukuran besar. Begitu pun dengan bentuk pintunya. Dari sana saya menuju halaman tengah yang di tengah-tengahnya terdapat pohon mangga yang besar, bersebelahan dengan gedung Kantor Pengelola.Â
![dok.pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/05/06/smg-3-5aee4a9ddd0fa8147b6efc62.jpg?t=o&v=770)
Memasuki gedung utama membuat saya terkagum dengan bangunan Lawang Sewu, pilar-pilar penyangganya begitu kokoh. "Gedung ini dibuat dengan bentuk simetris sehingga bagian satu sisi dengan sisi lainnya tampak kembar. Inilah yang menyebabkan orang bisa tersesat dan muter-muter (berkeliling berulang-ulang) ketemu tempat yang sama," tutur Bapak Guide. Gedung Utama yang dijadikan ruang pamer berbentuk huruf L.Â
Di bagian tengahnya terdapat tangga naik dan turun secara terpisah yang menghubungkan ke lantai dua. Lokasi ini nampak megah dengan lantai ubin yang klasik. Kaca lukis timah besar di salah satu sudutnya bisa memberi efek siluet bagi yang mengambil foto di sana. Terdapat ukiran Dewi Fortuna dan Dewi Venus. Atapnya berbentuk melengkung dengan garis-garis kayu sebagai penghubungnya mengingatkan saya pada gaya bangunan jaman dulu. Kuat dan megah! Di tempat ini beberapa foto sangat bagus untuk diambil sebagai kenang-kenangan dan merupakan lokasi yang instagramable.
![dok.pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/05/06/smg-4-5aee4c2af133440415344572.jpg?t=o&v=770)
Bagi saya loket itu begitu mewah karena bersekat besi yang berlubang-lubang dan motifnya indah. Di sinilah tempat penjualan tiket kereta untuk para orang Belanda. Sementara penjualan tiket kereta untuk warga pribumi dibedakan di ruangan yang berbeda dan terbuat dari kayu serta bentuknya sederhana.Â
Selanjutnya, saya mulai memasuki ruangan-ruangan besar yang sekarang menjadi ruangan pameran foto-foto tentang Lawang Sewu dari waktu ke waktu. Ruangan-ruangan ini bentuknya berjajar dan saling tembus di tengahnya, sehingga antar ruangan selalu ada pintu yang saling menghubungkan.Â
Hubungan antar ruangan  membentuk seperti rangkaian gerbong kereta api. Setiap ruangan juga mempunyai pintu dengan dua daun pintu yang menghubungkan ke selasar bangunan. Inilah yang membuat jumlah pintu di bangunan ini begitu banyak. Semua pintu bentuknya sama, ukurannya sama dan warnanya sama.Â
![Loket penjualan tiket kereta api](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/05/06/smg-11-5aee4ba9dd0fa8381343e8e2.jpg?t=o&v=770)
![Lokasi foto yang instagramable](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/05/06/smg-5-5aee4b71bde5754a17015803.jpg?t=o&v=770)
Bangunan B bentuknya sama tetapi dari kualitas bangunan lebih sederhana. Gedung B dibangun pada tahun 1916 dan selesai pada tahun 1918. Gedung B dibangun karena kebutuhan ruangan kerja. Struktur bangunan juga berbeda dengan Gedung A, meski lebih sederhana tetapi bertujuan untuk mengurangi permasalahan yang sering muncul pada bangunan A. Jumlah seluruh ruangan di Lawang Sewu ada 144 ruangan. Setiap ruangan mewakili kota yang ada stasiun kereta apinya.
![dok.pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/05/06/smg-9-5aee4d64cf01b452d17d73e2.jpg?t=o&v=770)
![dok.pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/05/06/smg-7-5aee4d73cf01b451b7767732.jpg?t=o&v=770)
Setelah dilakukan beberapa kali pemugaran, bangunan-bangunan di Lawang Sewu menjadi tampak bagus, rapi meskipun nuansa sejarahnya tak luntur. Kemegahan dan kekokohannya masih menjadi pesona bagi banyak orang. Kunjungan ke Lawang Sewu tak pernah sepi, antara lain untuk mendapatkan moment yang instagramable, belajar sejarah, berfoto prewedding, menggunakan ruangan untuk pameran atau seminar, sampai pesta taman bisa digelar di Lawang Sewu.
Lawang Sewu sebagai warisan sejarah lebih membuka pintu agar mampu menjadi sumber daya budaya. Pemanfaatan fungsi bangunan yang ada diharapkan dapat mendukung pelestarian bangunan Lawang Sewu yang tentunya membutuhkan biaya pemeliharaan dan pemugaran di waktu-waktu mendatang. Dengan demikian Lawang Sewu sebagai wisata sejarah, sekaligus menjadi wisata budaya di Semarang. Bagi yang berminat mempunyai acara di Lawang Sewu bisa berkonsultasi dengan petugas di kantor pengelola
Menepis Keangkeran Lawang Sewu
Hampir sekitar 2 jam, saya mengelilingi bangunan-bangunan di Lawang Sewu, di bagian belakang bangunan pengelola, di sana ada ruangan terbuka tempat pengunjung yang membutuhkan makanan dan minuman atau sekedar merokok. Cukup puas saya dengan cara dan gaya guide memandu saya selama mengunjungi Lawang Sewu.Â
Kunjungan terakhir adalah menuju Lokomotif baja yang ada di depan gedung untuk bisa berfoto di sana. Dalam perjalanan menuju ke sana, saya bertanya kepada Bapak Guide,"Pak benarkah bangunan Lawang Sewu ini angker?" Sambil tersenyum beliau menjawab,"Saya tidak bisa bilang ya, juga tidak bisa bilang tidak. Itu sifatnya personal! Apa yang Ibu rasakan selama kita jalan-jalan tadi?" Tanyanya balik ke saya. "Baik-baik saja!" jawab saya spontan.Â
![dok.pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/05/06/smg-6-5aee4e8b5e13731c97062672.jpg?t=o&v=770)
Hal ini untuk menjaga agar pikiran saya tetap jernih memandang Lawang Sewu sebagai bangunan bersejarah yang patut saya ketahui dari sisi sejarahnya. Inilah yang membuat saya fun-fun saja selama mengelilingi gedung-gedung Lawang Sewu. Berpikir positif dan tidak terpapar berita-berita yang bersifat pengalaman personal benar-benar sangat bermanfaat bagi saya untuk bisa enjoy selama kunjungan.Â
Sepulang dari sana, beberapa hari kemudian barulah saya membaca kisah-kisah itu. Berita keangkeran Lawang Sewu memang lebih banyak mendominasi saat browsing tentang Lawang Sewu, tetapi percayalah bahwa selama kita mempunyai niat baik dan tidak bertingkah laku yang tidak layak selama melakukan kunjungan, maka kisah-kisah mistis itu tidak akan dialami. Lokasi Lawang Sewu terawat dengan baik, rapi dan dan bersih sangat nyaman untuk dikunjungi maupun berkegiatan di sana.
![dok.pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/05/06/smg-8-5aee4bf8bde5752b68487022.jpg?t=o&v=770)
Semarang, 21 April 2018
Oleh : Majawati Oen
(seluruh foto adalah dokumen pribadi)