Mohon tunggu...
Suci Maitra Maharani
Suci Maitra Maharani Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tidak suka kopi

Quarter of Century

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | "Al, Run!"

31 Mei 2018   20:50 Diperbarui: 1 Juni 2018   23:30 2580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi: thehumornation.com)

"Demi Tuhan, katakan pada saya di mana Prof sekarang?!" aku terpancing panik.

Sambungan video call terputus. Ada yang tidak beres dengan Profesor Rad.

***

Kami baru saja turun dari helikopter saat arlojiku menampilkan alarm aktif pukul 15.30.

"Kau sedang sibuk, atau ada janji?" Prof. Rad menoleh ke arahku, sedikit berteriak.

"Tidak. Hanya alarm pengulangan. Biasa."

Dan percakapan terhenti sampai baling-baling heli hijau tua itu kembali menjauh.

Prof. Rad lalu mengajakku ke sebuah kedai tak jauh dari sana. Melewati pintu, di meja demand ia menekan tombol coffee juga tombol lain untuk pilihan makanan. Sebentar kami menunggu hingga ikon served menyala, dan Prof. Rad membawa nampan berisi pesanannya ke salah satu dari sekian banyak meja yang kosong.

"Ini kopi robusta asli yang diolah dengan seminimal mungkin campuran, termasuk gula," kata Prof. Rad setelah sesapan pertama, "berasal dari bagian barat kepulauan."

Aku mengangguk, mencoba menikmati cita rasa yang didominasi pahit ketika menyentuh lidah itu. Aku tidak terlalu suka rasa jenis ini, tapi pembicaraan selalu membutuhkan pelarian kala jeda, dan kopi adalah pilihan Prof. Rad.

***

"Kau tampak begitu curious. Tingkat akhir?"

Aku mengangguk. Tak sia-sia pengejaranku pada figur pembicara seminar di kampus kami itu. Aku tak banyak berteman atau membuka komunikasi, terutama dengan orang baru tak peduli sepenting apapun jabatan yang dimiliki. Tapi kali ini, darinya akan kudapat informasi yang jauh lebih luas dari apa yang didapat di kampus juga sekedar info ini-itu yang beredar di kalangan kami -- mahasiswa.

"Saya hanya ingin tahu lebih banyak tentang sejarah." pintaku sembari mengimbangi langkahnya yang cepat.

Ia berhenti, menampilkan barcode pada display digital chipnya untuk segera kupindai, dan memang itu yang kulakukan.

"Panggil aku Rad, anggap saja kita adalah teman lama." katanya sebelum meninggalkanku menuju mobil plat merah yang menunggu di area parkir.

***

"Anak muda selalu punya banyak acara, Al." Prof. Rad membuka percakapan. Aku sendiri hanya tersenyum lalu mengangkat bahu, membuat Prof. Rad tergelak. 

Tapi tak lama, segera ia membenahi duduknya dan bersikap serius.

"Apa yang kau ingin aku untuk ceritakan?"

Aku tak menduga respon Prof. Rad secepat itu.

"Yah... seperti kau sering lihat pada berbagai sumber. Dulu memang hanya tinggal dulu, dan lain dengan saat ini, tempat dimana kau tumbuh dan belajar."

Prof. Rad menyantap suapan pertamanya, tampak amat menikmati.

"Saya ingin mendengarkan semuanya, Prof." jawabku.

Prof. Rad tertawa kecil, "Kau memang serakah, Alken."

***

"Kau lihat itu, kan, ceruk raksasa yang memandangnya membuat siapapun seperti akan tertelan di tengah lubangnya."

Aku mengangguk, tanpa menoleh sedikitpun pada Prof. Rad dan justru fokus pada lubang besar yang terhampar di bawah ketinggian helikopter yang kami tumpangi.

"Adalah tambang emas terbesar di negara ini, Al, berada pada sisi paling Timur kepulauan."

"Tambang emas? Kita pernah memilikinya sendiri, Prof?"

Prof. Rad mengangkat bahu, menggeleng kecil.

"Dulu berlabel kerjasama, tapi lambat laun akuisisi telah berhasil perusahaan lakukan, yang tentu berasal dari negeri seberang mata angin."

"Lalu?"

"Lalu kau lihat sendiri. Tak ada lagi tersisa kecuali kemegahan yang hanya tinggal puing-puing kosong."

Aku pernah mendengar lagu kanak-kanak tentang memandang alam dari atas bukit. Hamparan bumi adalah permadani di kaki langit, tapi ternyata aku temukan semua hanya isapan jempol kini. Keadaan nampak begitu gersang, panas, juga bagi kami yang tengah mengudara sekalipun.

Usai beberapa penjelasan, Prof. Rad mengajak pilot untuk turun. Dan memulai segala kisah yang lama aku tunggu dari beliau.

"Kita adalah penduduk yang bangga di masa lampau, Al. Negara kepulauan terbesar di dunia, potensi sumber daya alam yang lebih dari berlimpah, sampai-sampai dulu ada saja bait yang mengatakan bahwa tanah kita adalah tanah surga sebab amat suburnya, juga kehebatan lain yang memukau mata dunia."

Aku membayangkan, dulu tentu permadani di kaki langit itu bukan mustahil.

"Betapa bahagia anak-anak generasi masa itu ya, Prof."

Cepat Prof. Rad mengangguk.

"Setidaknya mereka tumbuh lebih cepat dari apa yang kau alami saat ini. Mereka, juga kami, bebas melakukan eksplorasi apapun tanpa jerat almamater yang mewajibkan karantina seperti kau sekarang. Wawasan mereka luas, sebab tak ada batas untuk mempelajari ilmu pengetahuan apapun. Dan, setidaknya, mereka atau kaum-kaum muda seusia kau tidak dianggap berbahaya oleh negara, terutama pihak-pihak di balik Negara."

"Pihak-pihak di balik Negara?"

Prof. Rad mengangguk.

Bunyi bip! menjeda pembicaraan kami. Sebuah pesan masuk ke layar ddc Prof. Rad. Pesan penting tampaknya, sebab ia langsung mengaktifkan privasi layar. Cukup lama ia berjibaku dengan pesannya sebelum kembali pada perbincangan kami dengan muka masam.

"Pekan depan kau ikut aku ke ujung timur pulau ini, Al. Sebuah tambang mineral yang kaya, yang mestinya cukup bagi negara ini untuk merasa jera pada kelalaian bertahun lalu, dan mengolahnya sendiri meski perlu kerja yang lebih keras."

Aku diam walau sempat mengangguk.

"Semoga tak terlambat." tambahnya.

***

"Saya mencoba menghubungi Prof sejak beberapa hari lalu, namun tak satupun berhasil. Saya menunggu jawaban dari Prof."

Aku akhirnya memberanikan diri mengirim pesan pada Prof. Rad, sepenuh cemas menunggu kabar darinya. Apa gerangan yang terjadi? Sejak rencananya seminggu lalu, ia menghilang begitu saja.

***

"Kita hanya memiliki sekitar tiga puluh persen saja dari kekayaan Negara, Al. Entah apa yang terjadi, roda waktu menggilas semuanya dan menempatkan kita pada masa seperti kini."

Prof. Rad berbicara sepenuh perhatian, dan segera dicondongkan tubuhnya ke depan seraya berbisik, "hanya dua tersisa harta yang kita punya. Pulau, dan BUMN. Sedangkan BUMN itu pun menyisakan dua yang terbesar yang masih segar beroperasi dan amat kita butuhkan, ini dan ini."

Prof. Rad menunjukkan dua logo persero di layar ddcnya. Logo pertama adalah tiga warna membentuk formasi sirip daun, logo kedua menyerupai petir.

"Jika keduanya terlempar juga, kita tak memiliki apa-apa lagi, Al."

"Terlempar? Maksud Prof jatuh ke tangan as..."

"Ya! Dan itu yang tengah kami perjuangkan saat ini. Meski sulit sekali. Kau tahu, world bank mencatat inflasi tak terkendali dari Negara kita ini setiap tahunnya." 

Aku seperti bayi yang belum mengenal apapun mendengar penjelasan Prof. Rad barusan.

***

Waktu telah pukul dua dini hari ketika arlojiku berdenting. Banyak mengingat Prof. Rad membuatku tak sedikitpun merasakan kantuk.

"Nama lengkapku?" Prof. Rad tertawa saat aku bertanya perihal namanya.

Aku tersenyum. Bersama Prof. Rad aku layaknya kanak yang tak ingin berhenti bertanya. Rambutnya yang menembaga mengingatkanku pada sosok ayah yang telah lama pergi.

"Radio. Rad for Radio."

"Radio? Nama yang unik."

"Ya. Orangtuaku menyukai benda berbunyi bernama radio."

Baru terangkat bibirku menuju pertanyaan berikutnya, Prof. Rad telah lebih dahulu menyambar, "Kau tak akan mengenalnya, Al. Radio, handphone, televisi, komputer, pc, dan lain sebagainya adalah produk yang tidak pernah terpakai lagi tiga puluh tahun terakhir ini semenjak ditemukan display digital chip atau ddc seperti yang kau miliki itu, karena ddc telah merangkum segala kebutuhan elektronik manusia dan bekerja dengan otomatis serta mudah diletakkan di mana saja sebab bentuknya berupa chip."

"Apakah benda-benda itu menarik?"

"Radio sendiri adalah benda bersuara sekalipun tak memberi kita kenikmatan visual. Tapi sangat menyenangkan. Barangkali orang tuaku ingin agar anaknya kelak menyampaikan segala kebenaran sekalipun tak terlihat."

Ia lalu terkekeh.

Juga mengalir kemudian ingatan tentang penjelasannya mengenai wajah bumi yang kini berubah. Hutan-hutan sintetis nyaris di sepanjang kepulauan, pendidikan yang amat sangat dibatasi, mata uang yang cepat sekali berubah-ubah, perangkat hidup yang gagap beralih menjadi digital, tak terlewat pula kedai-restauran-tempat makan yang dioperasikan oleh mesin otomatis, juga banyak sekali hal yang aku tak pernah terpikir sebelumnya.

Bip! keras dan panjang menyalakan kelip layar ddcku. Video call, Prof. Rad.

"Alken, semua sudah kukirimkan melalui e-mail. Hanya di sana data berada pada tempat yang cukup aman, meski lambat laun semua akan tahu juga. Kau harus membaca, juga melangkah segera."

"Prof, jangan membuat saya tergesa seperti ini. Apa yang terjadi? Di mana Prof?"

"Berhati-hatilah, Al. Ambil langkah yang menurutmu terbaik."

"Demi Tuhan, katakan pada saya di mana Prof sekarang?!"

Terlambat. Pertanyaan terakhirku tak lagi sampai, layar tertutup.

Dengan terburu-buru aku membuka e-mail yang hampir usang, dan layar ddc menampilkan sebuah attachment baru. Dari Prof. Rad.

Mengenai pihak di balik Negara yang kau tanyakan waktu itu, Al, telah turun. Kita tak punya apa-apa, mereka tak ingin menangguhkan hutang. Dan, kau ingat BUMN sirip daun? Ya, mereka minta itu! Cuma-cuma! 

Aku juga beberapa rekan telah memperjuangkan apa yang kami bisa agar kita tak perlu melepasnya. Itu milik kita, kekayaan kita. Tapi selalu saja pola berulang sejak jaman entah, kuasa tak akan suka pada sesiapa yang menentang. 

Kabar terakhir terjadi perburuan pada kami yang menolak pengambil-alihan perusahaan. Tak ada perlindungan dari negara. Dan kami mesti menyelamatkan diri. 

Maafkan aku. Tapi kau dianggap salah satu anak muda berbahaya sebab mengetahui banyak hal tentang ini. Waktu yang kini tengah membenci orang cerdas sepertimu, maka berhati-hatilah, Al. Mereka bisa saja mencarimu! 

...

Masih tersisa beberapa paragraf dari surat Prof. Rad yang belum kubaca, dan aku terpaksa berhenti ketika terdengar seseorang mengetuk pintu.

Siapa bertamu malam-malam begini?

[-]

*Suci Maitra Maharani - anggota Persatuan Penulis Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun