Mohon tunggu...
Maik Zambeck
Maik Zambeck Mohon Tunggu... corat coret

semoga menjadi orang yang sadar sesadar-sadarnya

Selanjutnya

Tutup

Roman

Salju di Pantai Padang (111-115)

13 Oktober 2025   20:55 Diperbarui: 13 Oktober 2025   21:28 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

yang konyol. Jak yang mengetahui hal itu malah tertawa terbahak-bahak, melihat kedua temannya tidak mau saling mengalah.
Kembali ke kamar kos yang sedang sepi penghuni itu, Amir duduk menghayal kalau seandainya dia dapat beasiswa, dan bagaimana dia nantinya. Tiba-tiba lemari plastik disebelahnya bergoyang. Gempa datang. Ah.. paling juga gempa kecil dan sebentar. Dia pun masih asik membolak-balik brosurnya. Tapi satu menit berlalu, gempa belum berhenti juga, dua menit berikutnya gempa bertambah besar, suara gemuruh dimana-mana. Orang-orang berteriakan ke luar rumah. Amir terkejut, "..ini sudah bukan gempa kecil lagi." pikirnya. Dia pun segera berlari keluar kamar, menyeruak ke pintu rumah kos, ke gang sempit di samping rumah Mak Juri. Gempa masih belum berhenti, malah bertambah besar. Amir tak tahu harus lari ke depan atau belakang, karena dia terkepung oleh bangunan tinggi yang rapat. Ke depan berarti dia harus melalui bangunan beton tempat dia kos yang dua lantai itu, seandainya itu runtuh pasti dia tidak akan selamat. Ke belakang memang tidak terlalu tinggi namun bangunan masih lebih rapat lagi. Akhirnya dia memutuskan untuk ke belakang. Amir tidak bisa berlari dengan lurus, terhuyung kesana kemari. Dari belakang rumah Mak Juri dia melihat dinding rumah tempat kosnya bergerak seperti tirai yang dimainkan, bergelombang, mengerikan. Amir masih terhuyung-huyung berjalan keluar menjauhi bangunan itu bersama orang di sekitarnya. Gempa bertambah besar, beberapa menit kemudian berhenti. Amir meperhatikan sekitarnya ternyata tidak ada satu bangunan pun yang runtuh. Tapi orang-orang sudah terlanjur takut untuk kembali ke rumah. Mereka semua berjalan keluar menuju tempat yang lebih aman dan jarang bangunannya. Amir hanya mengikuti gerak langkah kakinya, sampai terus di samping Sendik BRI. Di sana di jalan beton di depan Sendik BRI ternyata orang-orang telah ramai berkumpul menghindari bangunan sekitar. Amir sampai di jalan beton depan Sendik BRI, tiba-tiba gempa besar pun kembali mengguncang yang membuat Amir tidak bisa berdiri lalu memilih
duduk jongkok di jalanan. Bangunan, tiang listrik, pohon-pohon semua bergoyang kesana kemari, tiap orang yang dia lihat di sana berteriak, terhuyung ke sana ke mari. Sungguh pemandangan yang mengerikan.
Tiga menit berlalu, gempa besar itu akhirnya hilang, selanjutnya hanya gempa-gempa kecil yang sudah tidak dihiraukan orang lagi. Di simpang Pasar Baru, orang semakin banyak bergerombol, semakin banyak, banyak dan banyak lagi. Mereka semua bergerak ke atas ke arah kampus Unand. Jika diperhatikan, dari wajah dan perawakannya, mereka bukanlah mahasiswa atau orang sekitar Pasar Baru. Mereka adalah orang-orang dari arah kota Padang, yang sejak pertama gempa langsung berhamburan meninggalkan rumah-rumahnya khawatir akan terjadi gelombang tsunami seperti yang terjadi di Aceh waktu itu. Orang-orang ini ada yang hanya berjalan kaki, bersepeda motor atau membawa mobil. Yang membawa motor atau mobil mungkin dari tempat yang jauh. Ya, mereka itu adalah yang tinggal di sekitar Pantai Padang, Kampung Nias, Muara, Jalan Nipah, Kampung Karambia, Damar, Purus, Ulak Karang. Sejak sering terjadinya gempa di Kota Padang, orang-orang di sana tidak pernah bisa lagi tidur nyenyak. Satu kali saat terjadi gempa yang tidak terlalu besar, di malam hari, karena isu tsunami yang gencar, orang-orang itu sudah memenuhi jalanan di Pasar Baru sampai gerbang kampus Unand. Kasihan. Mereka berada disana sampai pagi. Sekarang, orang-orang itu sudah tidak banyak lagi seperti dulu, sebagian dari mereka sudah meninggalkan kota Padang untuk selamanya tidak mau ambil resiko untuk keselamatan nyawa dan keluarga, tinggallah rumah- rumah kosong mereka di sekitar pesisir Pantai Padang tak berpenghuni yang dulu pernah ramai dimasanya.
Hari mulai sore, listrik mati, sinyal hp putus, gerimis pun datang, membuat orang yang cemas semakin frustasi. Mereka tidak bisa berteduh di rumah-rumah mereka, takut kalau gempa susulan akan datang. Sebagain masih tetap berdiri di pinggir jalan berhujan-hujanan, sebagain lagi membuat tenda dari bahan ala
kadarnya yang didapat di sekitar. Pemandangan yang memilukan. Pasar Baru senja hari yang dulu di penuhi mahasiswa dengan stelan modis, sekarang sudah berubah menjadi tempat pengungsian. Amir sekarang sudah berada di pelataran rumah Jak, berhujan-hujan seperti yang lain. Jak dan temannya si penjual nomer cantik itu tidak berkata apa-apa saat Amir datang, wajah pucat mereka sudah mengatakan semua. Jak merasa beruntung rumah peninggalan kedua orang tuanya tidak runtuh saat dihantam gempa sebesar itu. Malam perlahan merayap, Jak dan temannya juga Amir hanya memperhatikan orang yang berlalu lalang di sekitar, sesekali mobil Ambulans meraung-raung dari arah Banda Buek ke kota Padang. Apa yang terjadi di sana? Tidak satupun dari mereka yang mengetahuinya karena sinyal hp, internet dan listrik masih mati. Desas desus yang diterima mengatakan di kota Padang terjadi kerusakan sangat parah. Hotel Ambacang hancur, amblas di saat mereka banyak menerima tamu. Beberapa rumah di sekitar pesisir Pantai Padang pun hancur. Ternyata gempa tadi juga terasa di Pesisir Selatan dan Pariaman. Rumah-rumah di sana juga banyak yang hancur. Di Pariaman satu kampung tertimbun oleh 2 bukit yang mengapitnya saat terjadi gempa, bertepatan saat ada perhelatan di sana. Sungguh berita yang tidak menyenangkan. Amir terduduk lemas di pinggir jalan yang becek. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Akankah dia tetap bertahan di sini atau mengambil suatu keputusan lain. Akankah dia merelakan pergi semua yang telah diusahakannya atau tetap mengejarnya. Yang dia tahu dalam satu minggu ini konternya tidak mungkin akan buka. Karena akan semakin banyak orang yang akan meninggalkan kota Padang setelahnya, membuat Simpang Pasar Baru juga Simpang Malintang akan semakin sepi. Apa lagi yang bisa dia pertahankan.
Dengan terpaksa dia mengangkat telpon genggam titipan Zaki. Menanyakan kapan Zaki akan kembali dari Jakarta. Di balik telepon itu Zaki mengatakan bahwa dia akan kembali ke Padang satu bulan lagi. Karena dia mendapat

pengumuman bahwa jadwal mulai kuliahnya diundur pihak Universitas dua minggu, karena masih dalam masa berkabung. Amir semakin lemas. Dua minggu adalah waktu yang lama.
"Zaki, dengan terpaksa aku harus mengatakan bahwa aku harus kembali ke Muaro Bungo, karena di sini tidak ada yang bisa ku harapkan lagi. " kata Amir dengan suara bergetar.
"Ya kalau itu sudah keputusan yang bulat bagi Abang apa boleh buat, aku pun tak bisa menahan.!" jawab Zaki yang mengimbangi perasaan Amir.
"Tapi, bagaimana dengan uang penjualan di konter? Ini masih ada aku pegang dan kunci konternya juga?" tanya Amir dengan nada lirih.
"Abang punya teman di sana yang bisa Abang percayai? Abang titipkan saja padanya. Kalau Abang mempercayainya, aku pun mempercayainya." jawab Zaki yakin.
Amir terkejut, apa Zaki tidak akan melakukan sesuatu yang sia-sia dengan mempercayai teman Amir yang belum dia temui? Tapi apa boleh buat kalau ternyata itu jalan terbaik. Akhirnya Amir menyerahkan uang dan kunci konternya ke Jak, berpesan nanti tuan asli dari barang ini akan menjemputnya. Dia akan menelponmu. Jak dengan terpaksa menerima barang itu.
Besoknya, Amir meninggalkan kota Padang menuju Muaro Bungo ke tempat keluarga jauhnya. Dia tidak terlalu yakin dengan keputusan ini, tapi inilah jalan terbaik baginya bekerja sebagai penderas getah di kebun karet milik pamannya.


Bab VII Panggilan Alam


Siang itu, sehabis menderas getah karet, Amir melepas penat di sebuah pondok tengah kebun pamannya. Pondoknya sudah reot, hampir rubuh karena termakan usia. Di sana Amir yang jam 6 pagi memulai kegiatannya, meletakkan bekal dan perkakasnya. Bekalnya hanya nasi putih, lauk ikan asin dan sebotol besar air putih. Pakaiannya kumal, banyak bercak hitam bekas percikan getah karet saat dia menderas. Bau badannya jangan di tanya, masih harum bau ikan asin di bekalnya dibanding bau bajunya. Setelah lima jam menderas, biasanya dia akan istirahat untuk makan siang, membersihkan badan lalu sholat Zuhur. Setelah itu, jam 2 dia akan kembali menderas. Hitung-hitung harga karet saat itu sedang bagus, jadi dia tidak ingin menyia-nyiakannya. Hasil penjualannya di bagi dua, setengah untuk dia, dan setengah untuk pamannya. Biasanya dia akan menjual pada toke terdekat pada hari Jumat, sekaligus hari itu ia akan libur untuk solat jumat ke pasar Muaro Bungo.
Belum beberapa suap Amir memakan nasi, tiba-tiba telepon genggam usang miliknya berbunyi. "Aneh,..", pikirnya. Tidak biasanya jam segini telepon genggam itu berbunyi. Kalau pamannya biasa memanggil selepas Ashar untuk memastikan Amir sudah keluar dari kebun atau belum. Atau dari Padang? Tidak mungkin, urusannya sudah selesai di Padang. Terakhir saat dia menelepon Jak mengatakan bahwa dia sudah bertemu Zaki dan Zaki sudah mengambil uang dan kunci konternya. Kira-kira ini dari mana?
"Halo". Amir menjawab telepon itu dengan tangan berlepotan nasi. "Halo apa benar ini Amir Sayfudin?" tanya orang di ujung telepon itu. "Benar, ada yang bisa saya bantu?" Amir merasa bahwa telepon ini bukan dari teman atau pamannya, tapi lebih bersifat formal. Dia pun mengatur tonasi suaranya agar tidak terdengar seperti orang kebun.
"Ini dari Pusat Kebudayaan Rusia, Jakarta. Setelah kami mempelajari

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun