Mohon tunggu...
Maik Zambeck
Maik Zambeck Mohon Tunggu... corat coret

semoga menjadi orang yang sadar sesadar-sadarnya

Selanjutnya

Tutup

Roman

Salju di Pantai Padang (86-90)

7 Oktober 2025   09:33 Diperbarui: 7 Oktober 2025   09:33 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

ini urusannya sudah lebih longgar hingga dapat melepaskan penatnya di kos- kosan lebih awal. Saat itu Mansur juga selesai mengajar dan sudah berada di kos-kosan. Tiba-tiba Mansur menyelonong masuk ke kamar Amir. Mansur bercerita panjang lebar seperti teman lama tidak jumpa. Dia bercerita macam- macam mulai dari peelitiannya yang hampir selesai, rencana sidangnya dan juga wisuda.
"Sepertinya kita akan bersamaan wisudanya, Mir!" kata Mansur menunduk sambil memainkan tangannya ke jembulan kasur Amir yang telah robek. Amir hanya membalasnya denngan senyuman,
"Anjay gimana? Menurutmu kapan dia akan wisuda? Apa akan bersamaan dengan kita juga?" tanya Amir kepada Mansur bertubi-tubi.
"Aku sudah lama tidak bertemu dengan dia lagi." jawab Mansur dengan suara melemah.
"Maksudmu?" tanya Amir sambil mengernyitkan dahinya pura-pura keheranan.
"Dia sudah berhenti dari tempat mengajar Buk Lely tiga bulan yang lalu tidak lama setelah kamu keluar." jawab Mansur yang mengakat mukanya sembari membuang pandangan ke langit-langit kamar Amir yang bocor.
"Oh... dia minta izin keluar juga ke Buk Lely karena mau melakukan penelitian seperti aku juga ya?" jawab Amir masih seperti orang yang tidak tahu apa yang telah terjadi waktu itu.
"Bukan... bukan itu, dia membikin skandal dengan menuduh Buk Lely telah membohongi guru-gurunya di depan guru-guru yang lain saat rapat penerimaan gaji. " jawab Mansur dengan suara yang kembali lemah.
"Apa...? Berani sekali Anjay itu..? Apa dia sudah gila? Memangnya Buk Lely dituduh berbohong bagaimana? Tanya Amir dengan nada selidik." "Bukan itu saja, dia juga menuduhku telah mengkhianatinya," Amir cuma menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Coba ceritakan padaku apa sebenarnya yag telah terjadi?" pinta Amir. Mansur terdiam sebentar lalu mulai bercerita.
"Waktu itu saat penerimaa gaji bulan Juni, kami seperti kamu tahu biasa dikumpulkan Buk Lely jam 4 sore di rumah belakang, waktu itu hari Sabtu. Semua hadir kecuali kamu Mir. Setelah semua gaji di berikan, Buk Lely bertanya pada guru-gurunya apakah ada yang mau di sampaikan? Anjay bertanya apakah bulan besok dia bisa mengajar kelas tinggi seperti Aku, toh bulan besok akan ada siswa baru anak dari kawan kakak Owen, jadi itu tidak akan mengganggu murid- murid yang ada padaku begitu katanya. Kalau aku sih boleh-boleh saja. Tapi Buk Lely yang tidak terima ditodong seperti itu di depan orang banyak langsung mengatakan tidak bisa. Karena kelas tinggi adalah spesialisasi aku. Karena dapat penolakan seketika, Anjay lalu bemberondong Buk Lely dengan pertanyaan lain yang kurasa ini sedikit aneh. Dari sekian lama aku bersamanya, dan dia juga sering mendengarkan cerita-cerita Buk Lely, baru kali ini dia menanyakan berapa jumlah murid di tempat bimbingan belajar Buk Lely di Pondok? Berapa jumlah siswa SD, SMP dan SMA nya,? Berapa jumlah guru yang megajarnya, berapa laki- laki dan perempuanya? dan mereka menngajar mata pelajaran apa saja? Buk Lely yang tidak mau diberondong dengan pertanyaan seperti itu kembali bertanya kepada Ajay, " Apa yang dia mau?" dengan suara tinggi. Anjay yang merasa tertantang dengan suara tinggi Buk Lely langsung berkata " Itu semua tidak ada kan?!" katanya sambil mengejek ke Buk Lely. Buk Lely yang merasa diremehkan berkata "Beraninya kamu dengan saya." Anjay kembali melanjutkan penyerangannya dengan menuduh Buk Lely bukan hanya berbohong tentang tempat bimbingan belajar di Pondok itu, tetapi juga kantor Pedagang Besar Farmasi di sekitar Rumah Sakit Yos Sudarso itu pun tidak ada. Aku yang mendengarnya tersentak begitu juga yang lain. Aku mau mempercayai Anjay tapi dia menyampikan tidak di saat yang tepat dan dengan cara yang tepat. Dan disayangkan lagi ternyata disana, waktu itu dia juga menyerangku yang dia kata
tiap minggu ke tempat Buk Lely untuk mencari muka agar murid-murid kelas tinggi ku tidak diganggu dan diberikan ke guru lain. Biar kau tahu Mir, aku tidak sejelek itu, buktinya aku melepaska Faldo dan Monik pada kamu kan?"
Amir hanya tersenyum lebih lebar, mengingat-ingat kata-kata Owen waktu itu, dan itu benar adanya,
"Lalu kelanjutannya bagaimana ?" tanya Amir yang penasaran dengan ujung jalan cerita itu.
"Akhirnya Buk Lely memberhentikan Anjay dan menerangkan keadaan yang sebenarnya pada guru. Guru-guru yang tidak merasa penting mengetahui kebenaran cerita itu tidak mau ambil pusing sedikit pun. Namun, yang aku heran tidak beberapa minggu kemudian Owen pun ikut mengundurkan diri."
Amir terdiam, dia menyadari sepertinya pertanyaan ini sebagai suatu pancingan oleh Mansur padanya kalau-kalau Amir mengetahui sesuatu sebelum dia berhenti.
"Aku tak tahu." jawab Amir singkat sambil mencibirkan bibir dan mengangkat bahunya.
Mansur terlihat sedikit tenang.
"Lalu siapa yang mengisi kekosongannya itu?" tanya Amir . "Aku mencarikan Tomi buat Buk Lely."
"Apa.. Tomi... kamu yakin dengan apa yang barusan kamu katakan ?" Tanya Amir keheranan.
"Iya Tomi, siapa lagi Tomi seangkatan kita di fakultas selain dari dia, bekas ketua FSI itu"
"Terus bagaimana?" tanya Amir penasaran.
"Dia hanya tahan dua bulan." jawab Mansur ragu
Amir malah tertawa sekeras kerasnya, Mansur yang keheranan akhirnya pun ikut tertawa, meski tidak mengerti apa yang ditertawakan Amir.
Setahu Amir, sewaktu masih tinggal di wisma Tegar, secara rahasia Tomi
melamar kerja menjadi guru Komputer ke SMP 10, Padang, dekat kantor camat Kuranji. Dia diterima, dan telah melakukan aktivitasnya sebagai guru di sana di sela-sela kesibukanya di kampus. Tapi, entah mengapa tahun berikutnya, dia tidak melanjutkannya lagi. Dengar punya dengar ternyata dia dibikin pusing dengan tingkah anak ajarnya murid-murid SMP 10 itu. Untuk satu tahun pertama dia bisa menahannya, tapi untuk tahun kedua dia menyerah. Padahal menurut Deni penghuni wisma Tegar yang adiknya bersekolah disana, status guru honorer Tomi waktu itu sudah merupakan posisi bagus baginya untuk modal awal mengajukan status sebagai Pegawai Negeri dan guru tetap. Sekarang, dia malah memilih tempat mengajarnya Buk Lely yang penuh dengan tipu daya, dan penghinaan, ya wajar dia hanya bisa bertahan dua bulan.
Sejauh Amir bercerita dengan Mansur, dia tidak menaruh curiga sedikitpun terhadapnya. Mansur yang Amir kenal masih sama seperti dulu, selalu berhati- hati dalam bicara. Mansur masih tetap Mansur yang dulu yang selalu ada maksud tersembunyi di balik setiap kata-katanya. Amir telah lama memahami nya jadi tidak terbawa hati dari tiap kata-katanya.
Yang Amir tidak habis pikir bagaimana orang kaderan partai politik dalam kampus berdalihkan agama itu, tidak kalah uragan dibanding preman kafe dalam mengambil keputusan hidup. Syukur-syukur dari kalau keluarga berkecukupan lalu mengambil keputusan ekstrim maka tidak akan mengacaukan keadaan ekonominya. Tapi seperti Tomi, yang begitu saja meninggalkan posisi mengajarnya di SMP 10, atau seperti seorang senior bernama Anton menikah lebih awal saat kuliah, sumber pemasukan tetap tidak ada, akhirnya putus kuliah, sekarang membuat roti selai yang di jual ke wisma-wisma (tempat tinggal kader-kader politik itu). Atau seperti Rizal yang jadi penjual popok bayi karena juga menikah lebih awal. Beda mereka dengan orang kebanyakan di jalanan adalah mereka adalah ikhwah, orang yang "mengaji", jadi harus diperhatikan oleh ikhwah-ikhwah yang lain. Itu mengapa senior Anton tadi berjualan ke

wisma-wisma sebab kalau dia jual di luaran, rotinya pasti akan kalah bersaing. Satu kata kunci yang teringat oleh Amir alasan dari semua tindakan nekat tersebut adalah "kita harus berani keluar dari zona nyaman". Hal itu terus diajarkan dalam tiap training mereka untuk menjadikan mereka orang yang besar di masa depan nanti, minimal menjadi caleg (calon legeslatif). Keluar dari zona nyaman itu tidak lebih seperti menghancurkan secara terus menerus bangunan yang dibuat sementara bangunan orang lain sudah berdiri megah, sungguh tidak masuk akal.
Anjay, Mansur, dan Amir adalah kader partai tersebut tapi mereka tidak terlalu patuh mengikuti kajian mingguannya. Alasannya bukan apa-apa, karena Ustadz pembinanya yang disebut sebagai murabbi terlalu sibuk dengan urusan pribadi, bolosnya bukan seminggu atau dua minggu tapi sudah sampai bulanan. Hingga kemudian mereka mencari jalan mereka masing-masing. Akhirnya semangat mereka untuk melakukan pertemuan itu memudar. Lalu mereka tidak pernah melakukan kegiatan berbau kepartaian itu lagi.
Beberapa hari berselang Amir sudah menyelesaikan urusan birokrasi untuk pelaksanaan proses wisudanya di bulan Oktober nanti. Dengan junior angkatannya, dia mengisi blanko pegembalian buku perpustakaan, dan berbagai peralatan labor yang dulu pernah di pinjamnya. Sampai ke urusan ijazah. Orang biro di Dekanat bertanya,
"Apakah penulisan namanya sudah benar?". " Ya sudah benar." jawab Amir.
Lalu mereka kembali menanyakan apakah Amir mau ijazah dan transkip nilainya diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Amir bingung, "Memangnya bisa ya? Tapi untuk apa diterjemahkan?". "Mungkin kamu mau melanjutkan sekolah keluar negeri atau kerja di luar negeri."
Amir malah geli sendiri mendengar kata ingin sekolah keluar negeri,

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun