Mohon tunggu...
Maichel Firmansyah
Maichel Firmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa yang hobby menulis dan menjadikan tulisan sebagai bentuk semangat juang dalam memberi kebermanfaatan

Hobi saya menulis, membaca dan bermain musik.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Lembaga Survei, Mencerahkan Rakyat dengan Hasil Riset

1 Januari 2023   20:06 Diperbarui: 1 Januari 2023   20:23 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Mendekati kontestasi pemilu serentak di tahun 2024, berita-berita tentang tokoh politik dan partai politik tengah berseliweran di media-media. Berita yang sedang hangat dan menjadi perbincangan di medium mainstream adalah tentang partai politik yang gencar membangun narasi politik untuk menciptakan kekuatan petahanan koalisi antar partai.

Partai politik kini sedang melakukan teknik gerilyanya untuk dapat berkoalisi. Koalisi antar partai yang paling utama partai akan memperhatikan akan elektabilitas petahanan dan popularitas calon yang diusung oleh partai politik yang akan berkoalisi tersebut (Hamiruddin). 

Realitasnya, koalisi antar partai tidak lagi memperhatikan eksistensi ideologi partai dan kredibilitas kandidat, yang jadi perhatian adalah popularitas calon. Popularitas tersebut menjadi sebuah alasan dasar bagi tokoh politik untuk diusungkan oleh partainya. Popularitas itu menyangkut kepada elektabilitas (keterpilihannya) di tengah masyarakat.

Dalam rangka untuk mendapatkan ukuran dan riset tentang elektabilitas kandidat, dibutuhkanlah lembaga yang mampu untuk mengukurnya dengan melakukan riset, sehingga hal itu yang melandasi munculnya lembaga-lembaga survei di Indonesia yang menjamur keberadaannya untuk sebuah kepentingan data.

Popularitas

Popularitas calon menjadi patokan dalam menentukan suatu tokoh akan diusung. Popularitas juga menentukan terhadap pembentukan koalisi antar partai. Hal itu bermula dari era orde baru (orba) karena adanya pembungkaman dalam media massa. 

Semenjak runtuhnya orba yang ditandai dengan jatuhnya rezim, bukan saja memunculkan banyaknya partai politik, politisi dan agenda pemilihan umum, tetapi juga menjamurnya lembaga-lembaga survei. Lembaga survei bermunculan karena popularitas calon dan elektabilitasnya di tengah masyarakat menjadi penentu (determinan) untuk dia akan diusungkan serta koalisi partai. 

Oleh karenanya, lembaga-lembaga survei mulai timbul kepermukaan, apalagi saat kontestasi politik tengah berlangsung atau saat pemilihan umum akan dimulai. Lembaga-lembaga survei khususnya yang membahas dunia politik dan dinamikanya, akam mengambil posisinya dalam dunia politik lewat hasil surveinya. Aktivitasnya dalam mengukur dan menghitung tokoh-tokoh politik, dan fungsinya terkadang bisa dikatakan sebagai bentuk mengiring opini publik.

Contohnya, kita bisa melihat dan membaca sendiri bagaimana lembaga-lembaga survei yang sering bermunculan di media-media digital, baik yang bersifat legal atau pun abal-abal selama ini sering mengeluarkan hasil risetnya kepada publik lewat yang kemudian dimuat pada media online atau televisi dengan menggiring opini. 

Hasilnga akan menaikan popularitas dan elektabilitas tokoh atau partai politik tertentu dengan narasi-narasinya. Kita lihat saja tahun ini, sebelum partai politik mendeklarasikan kandidatnya, lembaga-lembaga survei sudah lebih dulu mengeluarkan hasil surveinya terhadap tokoh-tokoh politik, ukuran yang mereka lakukan adalah menentukan popularitas dan elektabilitas suatu tokoh di tengah masyarakat. 

Maka kita akan melihat di berita digital atau televisi tentang lembaga survei yang mengeluarkan pernyataan hasil risetnya tentang tokoh politik yang didukung masyarakat dengan angka sekian persen, sedangkan kandidat yang lainnya dengan angka sekian persen. 

Bahkan yang lebih menohoknya, lembaga survei juga akan menyandingkan tokoh politik dengan yang lain, kemudian dilakukan proses pengukuran tentang populer dan elektabilitasnya tokoh politik itu di tengah masyarakat, apa yang dilakukan bisa saja baik jika narasi yang dibangun juga baik. Tetapi kebanyakan narasi di media massa lebih menjuru ke narasi yang tidak sehat dan kadang tidak dapat diterima akal sehat.

Lembaga survei idealnya menyediakan jasa riset atas pengukuran atau data yang ia temukan di lapangan untuk mencerahkan publik, sekalipun bagi partai politik maka lembaga survei bertujuan untuk memudahkan mereka dalam menentukan calonnya dari tokoh pollitik yang ada terhadap elektabilitas dan tingkat popularitasnya. Artinya hasil survei datanya sebagai referensi oleh partai politik, bila lembaga survei itu di danai oleh suatu partai atau tokoh tertentu. 

Jadi, bila pihak yang berkepentingan dengan lembaga survei adalah partai politik atau dianya tokoh politik, maka hasilnya cukup datanya untuk partai politik dan tokoh politik yang bersangkutan saja idelanya. 

Begitu semestinya, bukan malah diliput atau disebar luaskan lewat media massa yang berfungsi malah menggiring opini publik. Penulis selaku mahasiswa yang gemar membaca di media digital melihat hal tersebut menjadi sebuah keresahan sehingga memancing hati penulis untuk menuliskannya. 

Bila lembaga survei yang melakukan riset hanya ingin mendongkrak popularitas tokoh politik tertentu, lalu kemudian narasinya hanya menjatuhkan tokoh politik yang lain, maka idealnya lembaga survei tersebut telah mencederai etika politik dan etika pers.

Contoh tulisan yang penulis temukan di media digital seperti hasil riset lembaga survei untuk calon kandidat presiden yang telah dirilis yang judulnya, "Elektabilitas Capres 2024, Anies Baswedan Teratas". Atau survei yang mengatakan "Anies-Andika Perkasa Dominan". Dan ada lagi, "Survei Indikator: Elektabilitas Ganjar di Atas Prabowo dan Anies". Dari tulisan yang dimuat pada media digital ini jelas bahwa hasil riset dari lembaga-lembaga survei ini mengarah kepada pendobrak popularitas dan elektabilitas tokoh politik tertentu, dan menjatuhkan tokoh politik lain. Apalagi pada pengukuran lembaga survei tidak dijelaskan respodennya siapa, metodologinya bagaimana, dan dananya riset dari siapa, jarang lembaga survei mau mepubliskan hal itu.

Idealnya Lembaga Survei

Lembaga survei idealnya kerjaannya mencerahkan rakyat, atau pun jika dimodalkan oleh tokoh politik atau partai politik maka hasilnya untuk referensi oleh yang bersangkutan tersebut saja, alias mencerahkan partai politik atau si pemodal. Akan tetapi, kenyataannya yang terlihat hari ini hasil riset lembaga survei hanya berfungsi untuk menggiring opini publik atau berusaha mendulang kepopularitasan tokoh politik tertentu saja (menyesatkan). jika memang itu yang terjadi hari ini maka perbuatan lembaga-lembaga survei bisa dikatakan sebagai bentuk dari kampanye hitam (black campaign) yang jelas mencederai demokrasi.

Lembaga survei yang mengukur sesuatu yang berbau politik, mesti dipertanyakan keabsahan atau validitas, reliabilitas dan metodologinya, sebab hasil risetnya sudah sering terjadi malahan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan. Contohnya beberapa kejadian perbedaan hasil riset lembaga survei di Pilkada DKI Jakarta 2017. 

Lembaga survei memprediksi elektabilitas pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat di atas Anies Baswedan-Sandiaga Uno dengan angka 47,3 persen berbanding 44,8 persen. Kesalahan yang lebih fatal seperti yang terjadi di Pilkada Jawa Barat 2018, hampir seluruh lembaga survei meleset jauh dalam memprediksi elektabilitas pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu. Belum lagi pada pilpres 2014, ada empat lembaga survei yang dalam hitungan cepatnya saat itu memenangkan Prabowo subianto-Hatta rajasa, padahal kenyataan yang menang adalah Joko Widodo-Jusuf Kalla (Hamdi Muluk).

Kesalahan hasil riset lembaga survei tentang elektabilitas tokoh politik ini menjadi sebuah pertanyaan publik, tentang asal dan metodologinya. Apakah riset yang dilakukan metodologinya hanya untuk menggiring opini publik dan mendobrak popularitas tokoh politik agar elektabilitasnya meningkat, atau apakah hasil riset lembaga survei sebagai bentuk black campaign. 

Jika iya, sungguh ironis karena belum ada aturan yang bisa menghukum lembaga survei yang terindikasi terbukti metodologinya untuk menggiring opini publik agar popularitas dan elektabitas tokoh politik meningkat di tengah publik. Bila ini terjadi terus-menerus, maka menurut penulis impact-nya lembaga survei kedepannya semakin seenaknya memberikan hasil surveinya kepada masyarakat sehingga masyarakat mendapatkan produk tipuan.

Lembaga survei yang riset saat mengukur maka memilih responden yang lazimnya DPT (Daftar pemilih tetap), riset lembaga survei juga memerlukan biaya yang besar dan waktu yang lama karena tergantung banyaknya responden. 

Akan tetapi permasalahan terletak di mana lembaga survei tidak berani mempublish identitas respoden, menyebutkan siapa yang mendanai riset serta memaparkan metodologinya. Maka validitas datanya bisa dipertanyakan dan hasil risetnya bisa saja mengandung dusta atau condong berpihak (tidak netral). Lembaga survei acap kali berbeda dalam menentukan hasil risetnya yang mengandung sebuah kesalahan. 

Kesalahan itu bisa terjadi pada berbagai aspek, termasuk prediksi hasil akhirnya. Menurut Khairil Anwar Notodiputro, guru besar dan pakar statistik IPB menyatakan bahwa kesalahan utama lembaga survei terletak pada indepedensi lembaga itu sendiri. Lembaga survei di Indonesia belum mampu berdiri sendiri (Indepedensi) karena selalu disokong oleh partai politik atau kandidat tertentu.

Penulis berharap lembaga survei kedepannya dapat mengutamakan indepedensi dan tujuan risetnya untuk mencerahkan rakyat, bukan berpihak kepada kandidat atau partai politik tertentu sehingga menggiring opini publik. Dugaan tentang lembaga survei yang melakukan riset berpihak kepada pihak tertentu sejatinya untuk kedepan tidak lagi terjadi. 

Hasil survei untuk mengiring opini publik tidak lagi dilakukan. Lembaga survei dapat mempublish siapa yang mendanai, metodologinya serta respondennya siapa agar validasi dari hasil risetnya dapat di nyatakan kebenarannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun