Publik diramaikan dengan ulah ormas di Garut yang mengadakan sweeping di bulan puasa. Ini terjadi beberapa hari yang lalu. Guru Gembul termasuk yang mengomentari aksi sweeping yang viral di Garut, Jawa Barat tersebut. Sweeping itu dilakukan siang hari oleh sekelompok warga yang resah, karena warung nasi di siang bolong masih berjualan. Siang bolong di bulan puasa, warung makan itu pun diobrak, tidak diacak-acak.
Nampak yang tertangkap basah tengah merokok, yang kaget dengan sekelompok warga, yang kata Gugem mungkin ormas atau apalah. Ketika diminta mengomentari video itu, ia katakan (1) Puasa kok marah-marah, maka puasanya batal. Jadi yang marah karena orang lain maka di siang bolong itu sama-sama tidak puasa.
(2) Merusak citra Islam. Kenapa di media, Islam diolok-olok itu karena perilaku ummat Islam yang barbar, apa yang dilakukan sekelompok warga di Garut itu tidak mencerminkan akhlak Islam. Selanjutnya, ia berkata, siapa orang yang ingin dihormati maka sejatinya tidak punya kehormatan. Kalau orang sudah terhormat, maka kenapa harus mencari penghormatan.
Singkatnya, upaya membubarkan warung nasi di siang bolong maka itu bertentangan dengan hukum agama dan negara. Menyaksikan konten guru yang kerapkali kontroversi ini memang ngeri-ngeri sedap. Ia menampilkan orang yang "banyak tahu" tapi tahunya kadang suka lucu, sebab terlalu berlebihan menafsirkan sesuatu.
Perhatikan saja, pendapat ulama mana yang mengatakan orang yang marah-marah itu batal puasanya? Kalau berkurang pahalanya karena marah, ya kita maklum, masalahnya ini BATAL PUASA. Ulama saja tidak menghukumi batal, apalagi kalau kita merujuk ke sumber utama hukum Islam.
Anehnya, dari mana Gugem mengambil dasar  hukum-nya. Kalau ada Ulama, ulama mana. Kalau Ustaz, ustaz mana. Kalau kitab, ya kitab mana. Atau ini hanya asbun saja, yang salah memahami hadits bahwa orang yang marah-marah berkurang pahalanya, bukan batal puasanya. Hadeuh, ya!
Soal citra Islam bisa tercoreng yang dilakukan oleh warga yang resah itu, memang ada benarnya. Perilaku itu criminal katanya. Kita setuju, makanya pemerintah setempat jelas menyesali kejadian tersebut dan suara wargnet pun banyak yang mengecam. Tidak ada yang membenarkan. Kita pun sebagai muslim yang baik jangan pula jadi muslim pemarah, terlebih di bulan ramadan ini agar mendapat esensi puasa sebenarnya.
Lantas, bagaimana dengan para pedagang yang tidak memahami kebiasaan di bulan Ramadan, yang mana warung nasi harus buka di jam 16.00 WIB ke atas, tapi tetap kekeuh jualan?
Sebagaimana hasil musyawarah tokoh dan pemerintah Garut, menghimbau agar para pedagang siap saji tidak berjualan kecuali setelah pukul 16.00. Hal itu agar tidak menimbulkan keresahan di masyarakat. Di Banten sendiri, khususnya di wilayah Pandeglang memang tiap Ramadan ada anjuran serupa dari pemerintah agar para pelaku usaha makanan cepat saji pindah jam kerja.
Bukan dilarang, tapi pindah kerja, demi tercipta keamanan dan menimbulkan keresahan. Itu sesuai Peraturan Bupati (Perbup) nomor 15 tahun 2022 yang mengatur kegiatan di bulan Ramadan. Apakah pemerintah ketika membuat aturan ini sepihak? Tentu saja tidak, pemerintah punya pertimbangan dan saran juga dari berbagai tokoh.
Kalau kita tidak setuju dengan ulah sweeping tersebut, ya saya pun begitu. Sweeping itu harus dilakukan oleh aparat negara, bukan per orangan apalagi ormas. Kalau ada sekelompok warga nekad melakukan sweeping maka salah secara hukum. Respon warganet jelas kok mengecam, ormas nya pun menyesali dan meminta maaf.
Namun pernyataan Gugem pun jangan pula seolah menormalisasi laku para pedagang yang tidak taat peraturan. Kita perlu ditelusuri, kenapa itu kerapkali terjadi, apa salahnya di warga atau alat negara yang kurang gercap menindak ulah mereka yang membuat keresahan di siang bolong. Kita harus cari sebab musababnya, bukan menyimpulkan sepihak.
Kenapa sih warung nasi dilarang jualan di siang bolong lantas dibuat aturan segala? Di sinilah letak akhlak, bagaimana agar tertib maka dibuat aturan. Kita tidak mungkin mengharapkan di bulan puasa semua berbuat semaunya. Aturan ini, tidak hanya berlaku bagi kalangan Islam.
Di agama lain pun ketika di hari mulianya, negara hadir agar tercipta harmoni. Misalnya ketika nyepi, maka tidak ada jadwal penerbangan, bahkan kabarnya di Bali ummat Islam sengaja tidak mengumandangkan azan lewat spekaer sebagai upaya toleransi terhadap saudara sebangsanya yang berbeda keyakinan.
Perilaku sekelompok warga Garut itu tentu salah, kita catat itu. Tapi kalau dicap antek dajjal, apa ini tidak berlebihan? Alangkah bijak, fokus ke perilakunya, yang perlu diluruskan. Di sini peran kita sebagaimana warga yang baik tetap perlu memperhatikan aturan hukum. Penegak hukum harus lebih rajin lagi turun ke lapangan agar tidak kalah oleh ormas-ormas yang kadang terlalu over.Â
Bagaimana suasan ramadan ini tetap asyik, baik yang puasa atau tidak tidak memancing kegaduhan sehingga memicu konflik. Semua harus menyadari dan memahami tugasnya sebagai warga yang baik. Sweeping tidak akan terjadi kalau sekiranya tidak ada asap yang menyala dari api kenakalan warga pula. Mari intropkesi, bukan balik menghakimi! (***)
Pandeglang, 15 Maret 2025 Â 00.53
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI