Kita rancu membedakan, mana itu karomah dan mana itu "proyek perdukunan" berwajah islami untuk mendulang rupiah sehingga banyak yang termanipulasi otaknya. Untuk mencapai sesuatu bukan lagi mengandalalkan kerja cerdas tapi berpasrah pada jimat juga janji-janji muluk tanpa isi.
"Kalau benar dukun bisa membuat kita kaya, pertanyaan, kenapa banyak dukun yang miskin?" kata retoris saudara Mang Akbar, "di mana-mana ilmu kan untuk diri, maka selayaknya kalau dia bisa membuat orang kaya, seharusnya meng-kaya-kan dirinya dulu!"
Saya sendiri, mungkin mereka kalangan dukun idealis saja, sebab seperti aktivis pun kadang ada yang idealis pun pragmatis, jadi apa bedanya. Walau pun konteksnya berbeda, pun bukan membenarkan, tapi menilai saja.
Akhirnya apa, kita ingin punya peradaban islam bangkit tapi sebagai ummat kita tidak mau bangkit. Padahal kebangkitan Islam adalah bagaimana elemen pemeluknya bisa mengambil peran seperti apa yang kita bisa. Melek literasi, melek teknologi, tahu esensi islam dan segala perangkatnya, dan mampu menjawab tantangan zaman dengan kepala tegak.
Mistik bukan jadi landasan tapi cukup jadi isu yang kita percayai tapi bukan pembatas produktifitas. Niscaya, peradaban bukan lagi hal yang musykil karena Prof. Kuntowijoyo mengatakan, peradaban itu dinamis. Kita tidak usah khawatir Islam tidak bangkit selama kita mencukupi syarat-syaratnya, kalau belum, ini yang harus dipikirkan bersama. Bukan mencari siapa yang perlu disalahkan tapi mencari kesalahan bersama untuk diperbaiki.
Menyentil PSK, Gay, dan Lesbian di Kota
Sebagai orang kota dan tinggal di kota, ia sering bertemu dengan tiga jenis manusia di atas itu. Herannya, ada orang yang jelas gay dan punya pasangan gay tapi keduanya rajin salat. Kenapa di konfirmasi, bukannya perilaku kalian bukan citra dari Islam, loh kok masih mempecayai, jawabnya bikin mudeng, "Ya, kami tahu kami salah, tapi kami hanya berharap ketika hujan meteor, tidak hanya kami yang kena," gitu katanya. Kontan saja kami tertawa. Ada-ada saja.
Begipula dibahas, dari curhatan tiga jenis manusia di atas rata-rata kenapa mereka begitu, karena tekanan psikologis. Gay misalnya, kenapa bisa begitu, ada yang sering melihat superiornya sosok ibu di rumah, yang kadang kelewat melunjak ke suaminya, berefek ke mental anaknya. Lesbi pun begitu, karena melihat praktek KDRT di rumah yang rutin itu memicu efek psikologis ketakutan pada laki-laki, baginya hanya wanita yang perlu dicintai dan disayangi.
Sedangkan pelacur, kondisi ekonomi juga kondisi rumah yang tidak lagi nyaman memicu ke lembah lender itu. Ada juga korban pelecehan, pemerkosaan, dan ada pula terjepit keadaan. Benar mereka salah dan pasti berdosa tapi ada hal yang bikin heran ialah mereka justeru menggunakan uang haram itu mencukupi kebutuhan keluarganya.
Baik untuk biaya sekolah anaknya, pengajian ibunya, ekonomi keluarganya sampai pada membiayai umroh dan haji kedua orangtuanya. Baginya, kebahagiaan mereka segalanya meski pun harus berkorban kesucian jiwanya. Kita tidak sedang menormalisasi perilaku buruknya, namun melihat persoalan makin rumit.
Untuk itu, saya pribadi menaruh hormat ketika orang begini "di dakwahi" dengan tidak memukul mereka tapi merangkul mereka. Bukan menyudutkan tapi memberi ruang persahabatan. Sekali lagi bukan "membenarkan" tetapi menunjukkan "kebenaran" pada orang yang tengah tersasar untuk kembali pada fitrahnya.