Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Vaksinasi Dimulai, Mari Belajar dari Semut Gurun

13 Januari 2021   21:47 Diperbarui: 13 Januari 2021   21:56 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi divaksinasi (HO/SETPRES/AGUS SUPARTO via kompas.com)

Apakah Anda pernah berpikir bagaimana seekor semut mencari makan? Mungkin hal ini tak terbesit di pikiran Anda, bukan?

Namun, bagi sebagian orang, hal ini mereka pikirkan, lalu mereka menelitinya, dan mereka belajar banyak hal darinya. 

Sistem Internal Semut Gurun

Di Tunisia ada sebuah penelitian yang dilakukan untuk memahami bagaimana pola semut gurun mencari makan. Didapatkan bahwa semut gurun keluar dari sarangnya untuk mencari makan. 

Mereka keluar dari sarangnya untuk menjelajahi gurun pasir yang tak memiliki ujung. Kemudian mereka kembali ke sarangnya setelah mendapatkan makanan. Menariknya, semut-semut gurun itu mampu menggunakan rute terpendek yang memungkinkannya sampai ke sarang dalam waktu singkat dan tak ada satupun semut yang menyasar.

Rasanya, manusia saja mungkin tidak akan mampu untuk melakukan hal yang sama tanpa membuat kalkulasi kompleks dengan alat ukur atau dengan menggunakan hukum hitungan trigonometri dalam ilmu Matematika.

Bahkan, mungkin saja manusia justru tidak mampu menemukan kembali jalan pulangnya di tengah gurun padang pasir yang kosong dan begitu luasnya. 

Bagi semut gurun, hal itu sangat perlu dilakukan dengan penuh ketepatan. Jika tidak, akibatnya bisa sangat membahayakan. Cuaca panas gurun di siang hari bisa menyebabkan banyak insekta yang tidak mampu bertahan melawan teriknya matahari. Begitu halnya juga semut gurun ini.

Semut gurun hanya mampu bertahan melawan panasnya gurun pasir kurang lebih hanya dalam durasi 1 jam saja. Dalam tempo waktu sesingkat itu, semut gurun harus keluar dari sarangnya, pergi mencari makan, dan kembali ke sarangnya tanpa harus menyasar.

Berdasarkan penelitian, semut gurun diciptakan Tuhan dengan sistem internal dalam tubuhnya yang mampu melacak langkah yang mereka ambil dan mengkalibrasi ulang sendiri ketika melakukan perjalanan pulang.

Mereka tidak menggunakan persepsi mereka untuk menemukan arah pulang. Mereka juga tidak menggunakan metode canggih lain untuk menentukan arah pulang.

Yang mereka lakukan hanyalah mengingat arah dan jarak saat mereka bergerak maju sehingga bisa pulang ke sarang dengan aman setelah mendapatkan makanan. 

Kemampuan sederhana ini, tak diberikan Tuhan kepada manusia. Untuk melakukan hal yang sama, setidaknya manusia memerlukan bantuan alat tambahan dan mungkin juga memerlukan teknologi yang canggih.

Lantas, apa kiranya pelajaran yang bisa kita ambil dari semut gurun ini?

Sejatinya, di masa pandemi seperti saat ini, kita ibarat sedang mengarungi gurun pasir yang luas. Kita tidak mengetahui dimana ujungnya. Kita tidak tahu kapan pandemi usai. Karena pandemi, terlalu banyak permasalahan yang sudah, sedang, dan masih akan kita hadapi kedepannya.

Keadaan diperparah dengan tidak adanya kepastian di semua sektor kehidupan. Sekolah tak pasti, bisnis tak menentu, pekerjaan tak lancar, dan kini vaksinasi, sebagai senjata melawan pandemi, pun tak bisa dikatakan jelas. Intinya, semua serba tak pasti. 

Kondisi seperti ini sangat rentan sekali dan bisa membahayakan. Kondisi ini dapat membuat kita tak tahu ke arah mana harus berpijak dalam menghadapi pandemi. Kita seolah tak bisa keluar dari gurun pasir bernama pandemi. Berputar-putar dalam pusaran ketidakpastian.

Sistem Internal Vaksinasi

Hal yang sama juga dirasakan pemerintah. Jalan panjang menghadapi pandemi terkadang membuat pemerintah bingung untuk mengambil kebijakan. Karena ketidakjelasan kebijakan, akhirnya masyarakat juga semakin sulit untuk menginternalisasinya.

Contohnya saja kebijakan terkait vaksin, benda yang digadang-gadang akan menyelamatkan kita dari pandemi. 

Minggu-minggu ini, hampir seluruh diskursus publik di negara kita membicarakan tentang vaksin. Publik sangat mengharapkan pemerintah bisa mengelola vaksin dengan baik dan jelas. 

Harus ada sistem internal, layaknya sistem internal pada semut gurun, yang berfungsi membantu pemerintah melakukan proses vaksinasi sehingga tidak terjadi carut marut dan simpang siur dalam pelaksanaannya.

Sayangnya, masih ada sebagian masyarakat yang merasa sistem internal vaksinasi yang dikelola pemerintah tak jelas, sehingga menyebabkan adanya isu penolakan di masyarakat.

Dari mulai proses pemilihan vaksin, pembelian, pengujian, komunikasi publik, distribusi dan proses vaksinasi, semua menyebabkan terjadinya polemik di masyarakat.

Meskipun pemerintah bersikeras mengatakan bahwa proses vaksinasi sudah terencana dengan baik dan yakin dengan keamanannya, tetap saja rasa takut dan ketidakyakinan sebagian masyarakat tidak boleh diabaikan.

Adanya perbedaan persepsi ini menunjukkan bahwa sistem internal vaksinasi sebenarnya belum berjalan dengan mulus. 

Meskipun begitu, hari ini (Rabu, 13 Januari 2021), proses vaksinasi tetap dimulai. Sebelumnya penggunaan vaksin sinovac telah diizinkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah menyatakan kehalalan vaksin sinovac. 

Dimulainya proses ditandai dengan disuntikkannya vaksin pertama kali kepada Presiden Jokowi bersama dengan para perwakilan dari petugas kesehatan, tokoh agama, guru, buruh dan pedagang di istana negara.

Apa yang dilakukan Presiden ini adalah terkait masalah teknis proses vaksinasi. Sejatinya, pemerintah jangan hanya fokus kepada sistem teknis proses vaksinasi. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana membangun sistem internal terkait psikologis publik sehingga bisa meyakinkan masyarakat untuk mendukung proses vaksinasi ini. Pemerintah harus mengusahakan bagaimana masyarakat mau divaksin karena kesadaran, bukan karena paksaan.

Kata kuncinya adalah "meyakinkan" atau melakukan "persuasi" kepada masyarakat. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Ustad Bediuzzaman Said Nursi dalam buku Risalah Nur karangannya. Said Nursi berkata, "Menaklukkan peradaban adalah dengan melakukan persuasi, bukan dengan paksaan seperti halnya menaklukkan orang yang tak beradab yang tidak mengerti kata-kata."

Ya, di zaman seperti ini, memang yang lebih penting adalah usaha meyakinkan atau melakukan persuasi kepada masyarakat. Melakukan persuasi dengan cara memberikan alasan yang bisa diterima akal.

Alhasil, manusia memang tak seberuntung semut gurun yang diberikan Tuhan sistem internal alami untuk mengatasi permasalahan dalam kehidupannya. Namun, manusia diberikan Tuhan akal yang bisa digunakan untuk membangun sistem internalnya sendiri. 

Oleh karenanya, untuk membangun sistem internal vaksinasi yang baik, akal masyarakat yang perlu diyakinkan, tidak dengan paksaan. Inilah sejatinya tugas berat yang harus dilakukan pemerintah saat ini.

[Baca Juga: Akumulasi Karbon di Udara, Biarkan Hutan Tumbuh Sendiri]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun