Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pidato Kenegaraan ala New Normal dan Kerancuannya

16 Agustus 2020   08:57 Diperbarui: 16 Agustus 2020   08:50 2051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi covid-19 di Indonesia sudah memasuki bulan ke-6. Belum ada tanda-tanda ini akan berakhir. Semua elemen negara mencoba melakukan yang terbaik yang bisa dilakukan dalam rangka melawan pandemi ini.

Menjelang diperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-75 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, bangsa ini masih harus berjuang untuk keluar dari krisis pandemi yang telah menyentuh semua sendi kehidupan.

Kerancuan New Normal

Pidato kenegaraan tahunan Presiden Jokowi pada sidang tahunan MPR dan DPR dalam rangka HUT ke-75 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia hari Jumat (14/8/2020) dilakukan dengan cara kenormalan baru. 

Kursi anggota MPR/DPR tak penuh terisi. Semua peserta menggunakan masker. Tak ada salaman diantara peserta. Ya, untuk bisa keluar dari krisis, kenormalan baru perlu dilakukan. 

Bicara tentang kenormalan baru atau yang lebih dikenal New Normal tidak lepas dari polemik yang terjadi di masyarakat.

Beberapa waktu lalu, satuan gugus tugas (satgas) covid-19 memilih menggunakan istilah Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) untuk menggantikan istilah Kenormalan baru (new normal) pada proses percepatan penanggulangan covid-19. Ini diambil setelah terjadi diskursus mengenai istilah new normal yang dianggap rancu untuk dipahami.

Rancu bukan karena bahasa yang digunakan adalah bahasa asing, tetapi rancu karena pemahaman masyarakat yang salah atas istilah itu.

Masyarakat lebih mengedepankan normalnya dan menghilangkan newnya. Masyarakat memahami new normal sebagai kembali ke normal dan melupakan protokol kesehatan yang seharusnya tetap dilaksanakan.

Dari sisi lain, para intelektual negara ini juga mempermasalahkan istilah new normal yang tidak selaras dengan semangat pandemi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun