Mohon tunggu...
Mohammad Mahfuzh Shiddiq
Mohammad Mahfuzh Shiddiq Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar

Seorang yang masih belajar menulis dan menebar kebermanfaatan | Pemilik dan penulis di www.haimatematika.com | Investor dan kurir di Tazkiyah Shop.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pelajaran Agama yang Tak Dikenal

11 Desember 2019   00:20 Diperbarui: 11 Desember 2019   00:49 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : chezbeate, pixaby.com

Agama menjadi bahan perbincangan nomor satu di segala lini masa jagat media sosial. Mulai dari anak ABG sampai kakek nenek mengikuti perkembangan isu tentang agama dalam genggaman tangan mereka.

Isu agama memang sangat mudah menyebar di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Sebut saja kasus pencemaran agama oleh mantan Gubernur DKI Basuki Thahaja Purnama atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ahok, kecaman atas  pencemaran agama oleh beberapa ustadz dan yang terakhir yang masih hangat adalah ceramah Gus Muwafiq yang dirasa menyinggung perasaan sebagian muslim di tanah air.

Gelombang perdebatan dan diskursus mewarnai dan mengikuti kasus yang berbau agama tersebut. Diskusi yang konstruktif juga digelar yang merupakan sisi positif dari kasus kasus tersebut. Namun terdapat sisi negatif dari isu agama ini, rakyat terpolarisasi dalam dua kubu yang saling bersebrangan.

Lepas dari kampret dan cebong, dua kubu bersebrangan dalam pilpres 2019, kita disuguhi debat kusir antar dua golongan yang biasa disebut dengan kadrun dan togog. Persaingan yang saling menonjolkan kesalahan dan kelemahan lawan bukannya menampilkan prestasi menjadi suguhan tiap waktu di media sosial.

Agama masih menjadi salah satu komoditas seksi untuk dijadikan isu setiap bulan disamping isu politik dan pemerintahan. Kutipan Qur'an dan hadits dijadikan tameng atas pendapat masing-masing golongan.

Sayangnya perdebatan dengan isu agama di Indonesia belakangan ini  masih berjalan dalam formalitas yang bersifat ritual, terkadang malah mundur ke hal yang bersifat simbolis. Sebut saja kasus simbol mata dajjal dan simbol illuminati di masjid Safar, kasus bendera bertuliskan kalimat tauhid, pelarangan cadar dan celana cingkrang, hukum permainan catur, penghinaan terhadap diri Nabi.

Agaknya mereka melupakan esensi dari agama itu sendiri. Agama diturunkan untuk menata kehidupan manusia agar hidup lebih damai dan tertata bukan sekedar ritual dan simbolisasi agama itu sendiri.

Sepertinya, sesuatu termasuk "agama" hanya jika dibungkus dengan balutan Kitab Suci dan perkataan Nabi. Orang lebih senang mendebatkan haram dan halal tidaknya bermusik daripada mendengarkan rintihan anak kelaparan disampingnya. Ceramah kiyai kampung yang hanya berisi pitutur dan wejangan hidup tanpa dihiasi dalil dalil yang mentereng "kurang laku" jika dibandingkan  dengan ustadz yang hafal Qur'an dan ribuan hadits.

Seolah-olah kesalehan ritual merupakan satu-satunya jalan menuju surga. Kesalehan hanya bisa diukur dengan seberapa kita mengamalkan agama secara formal. A.A. Navis pernah menggugat pemikiran ini dengan memunculkan Haji Saleh dalam Robohnya Surau Kami. Gus Dur sering berbicara tentang kesalehan sosial di berbagai segala kesempatan. Bentuk kesalehan yang tidak hanya ditandai dengan gerakan sholat dan bacaan  Qur'an, melainkan juga perasan keringat dalam praktik kehidupan sehari-hari kita.

Saya teringat tentang cerita seorang guru agama yang membuat bingung dan bertanya-tanya murid sekelas. Saat pelajaran agama, guru tersebut mengajak siswa pergi keluar kelas dan diajak membersihkan kamar mandi, toilet dan seluruh halaman sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun