Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tolak Angin dalam Analisis dan Analogi tentang Politik Angin

22 Juli 2018   05:38 Diperbarui: 17 September 2020   21:30 2523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Semua orang pernah tertiup angin. Setiap saat kita berjumpa dengan angin. Setiap makhluk darat membutuhkan angin dan setiap individu malu karena tidak mampu mengendalikan "buang angin". Angin adalah elemen kehidupan yang mendasar bagi manusia.

Angin menjadi salah satu jenis dari udara yang setiap detik dihirup manusia. Tidak ada kata berhenti dari angin ini. Ia selalu bergerak ke sana kemari. Dari atas turun ke bawah, dari bawah naik ke atas, dari luar masuk ke dalam dan dari dalam menuju keluar. Demikianlah salah satu sifat dan watak angin.

Gerak, berubah tempat dan mengalir menjadi keharusan untuk angin sebagaimana keharusan untuk "yang ada" lainnya. Kita ingat Herakleitos seorang filosof Yunani Kuno mengatakan panta rhei kai uden menei (semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu yang tetap).

Menafsirkan fenomena angin untuk politik dan politisi di negeri ini akan menimbulkan beberapa konsep hasil berpikir "metode cocokologi". Sifat angin diproyeksikan kepada politik dan politisi, maka muncullah beberapa hal di bawah ini.

Determinasi Angin

Siapa yang tidak memerlukan angin? Tidak ada, jangankan manusia, mobil dan motor saja memerlukan angin agar bisa jalan. Begitu pula dengan masyarakat, mereka membutuhkan para politisi untuk mengatur kehidupan bernegara dan berbangsa di antara mereka dengan cara mendistribusikan kekuasaan.

Politik adalah salah satu upaya untuk mengelola kekuasaan yang diarahkan dalam kerangka tujuan yang lebih besar dan dalam kepentingan bersama. Kata politik ini berasal dari kata politikos (Bahasa Yunani) yang berarti dari, untuk dan yang berkaitan dengan warga kota.

Kata politik ini juga satu akar kata dengan kata polis (Bahasa Yunani) yang berarti kota. Maka politisi adalah mereka yang mampu mengatur kehidupan di dalam polis atau kota. Mereka menata kehidupan kota atau negara demi kepentingan bersama orang-orang yang  hidup di dalamnya.

Ini artinya jika para politisi justru malah membuat keributan di sebuah kota atau negara, maka ia bukan politisi sejati, ia bukan angin yang dibutuhkan manusia, tetapi ia adalah politisi kericuhan mirip seperti angin ribut; angin yang selalu menuai malapetaka bagi warga.

Maka determinasi di sini berarti semacam ketergantungan warga atau rakyat sebuah negara. Mereka membutuhkan kehadiran politik dan politisi untuk mengatur kehidupannya.

Ini mirip seperti angin yang dibutuhkan dan menentukan hidup matinya manusia. Sehingga politik, politisi menjadi determinan bagi warga seperti angin menjadi determinan bagi manusia.

Aksiologi Angin

Jika mengatakan bahwa angin memiliki nilai aksiologi dan kemanfaatan, begitu pula dengan politik dan politisi. Bahkan seharusnya bukan sekadar menampakkan sisi kegunaannya semata-mata seperti diungkapkan di atas, tetapi juga nilai moral dan etika serta estetikanya.

Setiap kali kita mengatakan "politik" dalam bahasa asalnya, sayup-sayup terdengar di dalamnya kata polite (Bahasa Inggris) yang berarti sopan santun. Sekali pun tidak ada hubungan generatif di antara dua suku kata tersebut, tetapi bukan berarti antara politik dan polite tidak bisa disandingkan.

Berkaca dari angin yang berembus sepoi-sepoi di pagi atau sore hari yang memperkaya keindahan suasana dan pemandangan, demikian pula dengan politik dan politisi. Idealnya keduanya menjadi elemen dasar dalam menata keindahan kehidupan dalam kerangka kekuasaan dengan cara-cara yang polite (sopan) dan menawan.

Ungkapan "politik menghalalkan segala cara", amatlah mencederai nilai hakiki dari politik itu sendiri. Karena di dalam tradisi awalnya, seseorang yang berpolitik berarti menjadi orang yang memiliki kesopanan dan menjadi warga kota atau negara yang baik. Karena memang pada hakikatnya politik itu ada demi kebaikan warga kota atau negara.

Gerakan dan Perpindahan Angin

Namanya angin, ia merupakan udara yang bergerak. Bergerak dari mana? Ya bergerak dari suatu tempat dengan tekanan udara tinggi ke tempat dengan tekanan udara rendah. Kata kuncinya adalah tinggi dan rendah.

Begitu pula dengan politik dan politisi. Mereka adalah orang-orang yang berada di atas kekuasaan. Karena mereka sebenarnya yang "menguasai rakyat". Mereka berada pada status yang lebih tinggi dari pada rakyat biasa. Status yang dasarnya merupakan amanat untuk mengelola rakyat di wilayah kekuasaannya.

Jika praktik politik tidak menyuarakan aspirasi rakyat bawah, jika politisi tidak mau tahu urusan-urusan rakyat jelata di bawah, maka mereka ada baiknya untuk belajar kepada angin. Angin selalu bergerak dari yang tinggi tekanan udaranya menuju yang rendah.

Sehingga jika demikian adanya, politik dan politisi bukan lagi menjadi konsep dan status yang menggantung di langit yang tinggi; jauh dari kepentingan rakyat rendahan, jauh dari kehidupan sehari-hari rakyat jelata. Tetapi ia merupakan konsep yang membumi.

Politik dan politisi harus ada di tengah-tengah masyarakat terutama masyarakat di level bawah. Kata "elite politik" tidak harus dimaknai sebagai tokoh yang tidak pernah turun ke bawah untuk meninjau keadaan dan nasib rakyat jelata,

Masuk Angin dan Angin-anginan

Nah, ini yang sering menggelikan dan menyusahkan orang. Masuk angin adalah penyakit yang membuat tubuh tidak nyaman. Perut kembung, mual, mules dan mungkin juga muntah-muntah. Orang masuk angin biasanya menyukai kerokan.

Sedangkan angin-anginan adalah kondisi mental dan sikap yang tidak jelas. Orang yang angin-anginan selalu bimbang dan tidak punya prinsip teguh untuk melangkahkan kaki menjalani kehidupan.

Bisa dibayangkan jika kedua gejala dari angin ini menimpa seorang politisi; politisi masuk angin dan politisi angin-anginan. Politisi masuk angin berarti politisi yang mengalami "sakit" dalam menjalankan peran politiknya.

Gejala ini tampak misalnya dari sakit moralnya, sakit komitmennya dan sakit lainnya akan membuatnya menjadi politisi yang berakhir di gedung KPK atau ruang tahanan. Ini mirip seperti orang masuk angin yang akan beristirahat di kamar rumah sakit untuk menjalani perawatan.

Sedangkan politisi yang angin-anginan, ibarat orang yang tidak punya landasan dan pijakan yang jelas dalam menjalankan peran politiknya. Orang bilang "politisi kutu loncat" katanya. Semua sudah tahu barangkali bagaimana figur-figur politisi angin-anginan ini.

Tolak Angin sebagai Obat Jasmani dan Ekonomi Rakyat

Masih sekitar urusan angin, beberapa analogi tentang politik angin di atas hanyalah sisi lain dari memaknai angin. Jika para politisi yang masuk angin sangat sulit untuk disembuhkan dengan hanya mengonsumsi jamu Tolak Angin, maka tidak demikian halnya apabila yang masuk angin adalah rakyat biasa. Seperti saya.

Saya sendiri pernah mengalami beberapa kali masuk angin, tetapi dalam pengertian yang sesungguhnya. Mengingat pernah punya riwayat penyakit ginjal, maka saya sangat hati-hati untuk mengonsumsi obat-obatan. Obat tradisional biasanya menjadi pilihan; Tolak Angin tentunya yang dipilih untuk menghalau masuk angin tersebut.

Di luar itu, saya merasakan sendiri bagaimana Tolak Angin bukan semata-mata obat tradisional untuk masuk angin, tetapi juga untuk menjaga stamina tubuh. Ini terutama dirasakan ketika sedang mengemudi. Karena mengemudi butuh stamina dan konsentrasi tinggi.

Pekerjaan mengemudi jarak jauh yang saya alami adalah ketika mudik ke kampung halaman orang tua di Tasikmalaya dari Solo. Jarak tempuh perjalanan kurang lebih 400 KM yang biasa ditempuh selama 10 sampai 12 jam. Ini tentu perjalanan yang cukup melelahkan.

Tetapi dengan berbekal satu dus tolak angin selama perjalanan pulang pergi, rasa letih dan capek seolah tidak terasa. Kandungan bahan tradisional yang ada di dalam Tolak Angin ternyata mampu membuat daya tahan tubuh terasa prima selama mengemudi menuju kota Tasikmalaya.

Sampai sekarang pun kebiasaan tersebut masih dilakukan. Karena di samping ada rasa percaya terhadap produk tradisional warisan leluhur Bangsa Indonesia yang dikemas dalam kemasan modern, saya percaya jika Tolak Angin juga memberikan kontribusi terhadap perekonomian bangsa dan rakyat Indonesia. Karena di samping merupakan produk ekspor, Tolak Angin juga menjadi bagian dari lapangan pekerjaan.

Oleh karena itu, Tolak Angin tidak semata-mata merupakan obat untuk menghilangkan masuk angin dan meningkatkan stamina tubuh, tetapi juga “obat” untuk meningkatkan perekonomian Bangsa dan rakyat Indonesia. Sehingga Tolak Angin menjadi obat jasmani dan ekonomi Bangsa Indonesia.

***

Akhir kata, dengan “metode cocokologi”, Tolak Angin, politik dan politisi bisa menjadi bagian dari diskusi. Hasilnya, tiga analogi pertama merupakan kebaikan yang dibutuhkan rakyat. Sedangkan satu analogi terakhir merupakan analogi yang sebaiknya dihindari.

Sedangkan Tolak Angin sendiri menjadi obat untuk menyembuhkan gejala masuk angin dan meningkatkan stamina tubuh dalam pengertian yang sesungguhnya. Oleh karena itu Tolak Angin tidak akan bisa menyembuhkan politisi yang “masuk angin”.

Tolak Angin hanya mampu menyembuhkan orang yang masuk angin dalam pengertian yang sesungguhnya seperti yang dialami oleh saya sendiri dan rakyat Indonesia lainnya. Tolak Angin juga bisa meningkatkan stamina tubuh dan meningkatkan “stamina ekonomi” Bangsa dan rakyat Indonesia.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun