"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya."
(HR. Ahmad)
Dan dalam hadits lain:
"Lindungilah dirimu dari api neraka, walau hanya dengan sepotong kurma."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dua kalimat pendek itu cukup untuk menimbang ulang: mana yang lebih menghidupkan sunnah Nabi - letupan kembang api, atau memberi makan tetangga yang tak mampu beli beras malam itu?
Maulid: Momentum untuk Meneladani, Bukan Sekadar Merayakan
Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menulis bahwa cinta sejati kepada Rasulullah bukan hanya dengan lisan, tapi dengan mengikuti akhlaknya.
Mencintai Nabi berarti menghidupkan nilai-nilai kasih sayang, keadilan, dan kepedulian.
Ketika Maulid dijadikan momentum untuk membantu yatim, menebus utang orang miskin, atau sekadar membagikan makanan kepada jamaah, di situlah ruh Maulid kembali ke maknanya: merayakan kelahiran rahmat bagi seluruh alam.
"Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam."
(QS. Al-Anbiya: 107)
Apakah kembang api bisa disebut rahmat? Mungkin indah bagi mata, tapi tidak bagi burung yang kaget, bayi yang menangis, atau orang tua yang tersentak jantungnya.
Antara Gairah dan Hikmah
Bukan berarti kembang api haram. Tidak ada larangan eksplisit. Tapi jika niatnya syiar, syiar seperti apa yang ingin kita tunjukkan?
Islam mengajarkan wasathiyah-keseimbangan. Jangan terlalu kaku hingga melarang semua bentuk ekspresi, tapi juga jangan terlalu longgar hingga melupakan substansi.
Ustad Rofi'i menutup malam itu dengan kata-kata yang layak diingat:
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!