Mohon tunggu...
Mahar Prastowo
Mahar Prastowo Mohon Tunggu... Ghostwriter | PR | Paralegal

Praktisi Media dan co-PR -- Pewarta di berbagai medan sejak junior sekira 31 tahun lalu. Terlatih menulis secepat orang bicara. Sekarang AI ambil alih. Tak apa, bukankah teknologi memang untuk mempermudah? Quotes: "Mengubah Problem Menjadi Profit" https://muckrack.com/mahar-prastowo/articles

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Palestina: Dari Deklarasi ke Realitas

26 September 2025   14:20 Diperbarui: 26 September 2025   15:10 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Sukamta (foto:ist)



Jakarta pagi itu agak mendung. Tapi suara Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Sukamta, terdengar tegas. Tidak ada keraguan."Deklarasi PBB hanya simbol kalau tidak ada implementasi," katanya.

Kalimat itu sederhana. Tapi dalam politik internasional, sederhana sering berarti rumit.

Indonesia sudah puluhan tahun konsisten mendukung Palestina. Dari zaman Soekarno, Soeharto, Gus Dur, hingga hari ini. Narasinya selalu sama: kemerdekaan Palestina adalah amanat konstitusi. Tapi pertanyaan yang selalu kembali: apa hasilnya?

Ada hal baru pekan ini. Hamas---kelompok yang selama ini identik dengan penolakan---tiba-tiba membuka pintu. Mereka berkata siap menerima solusi dua negara. Dengan syarat: gencatan senjata permanen, blokade dihentikan, tahanan dipertukarkan, Israel mundur dari Gaza.

Tentu syarat itu tidak sederhana. Tapi ada makna besar di dalamnya: pintu diplomasi tidak lagi terkunci rapat.

Dunia internasional, kata Sukamta, tidak bisa pura-pura buta. Ketika yang paling keras sudah mulai melunak, seharusnya PBB dan negara-negara besar segera bergerak.

Ada juga angka-angka yang membuat situasi ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Kini, 159 negara sudah resmi mengakui Palestina. Itu lebih dari tiga perempat anggota PBB.
Artinya, Palestina tidak lagi bicara sendirian.

Bahkan Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, ikut mengajukan tawaran: mengirim pasukan perdamaian Indonesia di bawah mandat PBB. Sebuah tawaran yang mengingatkan kita pada sejarah panjang Garuda di Kongo, Lebanon, Sudan.

Sederhana tapi serius: pasukan perdamaian.

Tentu jalan ke sana tidak mulus. Amerika Serikat masih jadi benteng Israel di Dewan Keamanan. Resolusi apa pun bisa diveto. Uni Eropa pun belum satu suara.

Tapi momentum ini terasa berbeda. Ada udara yang lain.
Deklarasi PBB, pengakuan negara-negara, Hamas yang melunak, dan tawaran Indonesia.

Semuanya seakan menumpuk, menjadi tanda bahwa ada sesuatu yang bisa berubah.

"Indonesia wajib berdiri di garda depan," Sukamta mengutip Pembukaan UUD 1945.
Bahasa konstitusi yang keras, tapi justru karena keras itulah Indonesia tidak bisa mundur.

Pertanyaannya hanya satu: apakah dunia berani mengubah simbol menjadi kenyataan?

Dua negara. Dua bendera. Dua ibu kota. Yerusalem Timur untuk Palestina.
Slogan itu sudah terlalu lama didengar telinga kita.

Kini yang ditunggu bukan lagi pidato, bukan lagi deklarasi.
Yang ditunggu adalah langkah kaki di lapangan.

[]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun