Oleh: Mahar Prastowo
Gaza belum lagi sepenuhnya hening dari dentuman rudal, namun aroma bisnis mulai tercium di antara puing-puing. Banyak yang menyebutnya sebagai peluang rekonstruksi. Namun sejarah memperingatkan: tidak semua pembangunan berarti kedaulatan. Tidak semua investor adalah penolong.
Sejak invasi militer besar-besaran Israel ke Gaza pada Oktober 2023, lebih dari 70 persen infrastruktur sipil luluh lantak. Rumah sakit, sekolah, jalan, bahkan fasilitas air dan sanitasi runtuh. Badan PBB menyebut Gaza "tak layak huni" dalam waktu kurang dari dua tahun ke depan jika tidak segera direhabilitasi.
Dalam situasi seperti ini, rekonstruksi bukan sekadar soal bangunan baru. Ia adalah instrumen politik. Dan di sinilah aktor-aktor besar mulai menampakkan bayangannya.
Bisnis Pasca-Penghancuran: Skema Lama dalam Wajah Baru
Rekonstruksi pascaperang bukan hal baru. Di Irak dan Afghanistan, kita melihat pola yang nyaris identik: konflik yang membuka pintu bagi masuknya perusahaan raksasa, terutama dari Amerika Serikat, untuk membangun ulang infrastruktur dengan dana pinjaman luar negeri yang kelak harus dibayar rakyat negara bersangkutan selama puluhan tahun.
Nama-nama seperti Halliburton dan Bechtel menjadi sangat dikenal. Laporan investigatif bahkan menyebut bagaimana sebagian besar proyek infrastruktur besar di Irak dijalankan tanpa tender terbuka, dengan biaya mark-up tinggi dan efisiensi rendah.
Kini, Gaza berisiko menjadi panggung ulang dari drama yang sama.
Trump Organization: Sebuah Sinyal?
Belum ada pengumuman resmi tentang keterlibatan Trump Organization dalam proyek pembangunan ulang Gaza. Namun relasi Donald Trump yang sangat erat dengan Israel -- termasuk pengakuannya atas Yerusalem sebagai ibu kota pada 2017 -- memberi dasar kuat bagi spekulasi tentang skema kerjasama geopolitik dan ekonomi pascaperang.