Oleh: Mahar Prastowo
Ada berita yang menohok rasa percaya publik: 5.360 anak tercatat mengalami keracunan akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejak Januari hingga pertengahan September 2025. Angka itu dilaporkan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI).
Ironis. Program yang niatnya mulia --- memperbaiki gizi anak sekolah, menurunkan angka stunting, mencetak generasi emas --- justru menghadirkan risiko di meja makan sekolah.
Pemerintah sudah menggelontorkan anggaran besar, membangun Badan Gizi Nasional (BGN), membuat Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK). Tetapi di lapangan, yang terjadi adalah fakta pahit: ada yang salah dalam rantai pelaksanaan.
Di Mana Salahnya?
Bisa jadi ini yang terjadi...
Pertama, SPPG (Satuan Pemberi Pangan Gizi) yang baru dibentuk banyak yang belum siap. Mereka dipaksa berlari padahal baru belajar berjalan. Hasilnya: dapur tak higienis, SOP tak konsisten, makanan basi.
Kedua, rantai pasokan bahan baku tidak teruji. Banyak pemasok lokal yang belum punya standar mutu. Ada yang nekat menjual sayur dan lauk hampir busuk karena harga murah.
Ketiga, pengawasan lemah. Inspeksi sering hanya di atas kertas. Bahkan ada laporan bahwa sebagian sekolah atau daerah memilih "diam" agar citra program tidak tercoreng.
Keempat, aspek teknis remeh justru berakibat fatal: makanan dimasak pagi, disimpan tanpa pendingin, dibawa ke sekolah dengan kendaraan terbuka, lalu dimakan siang hari di ruang panas. Keracunan pun menunggu.
Mengapa Ini Berbahaya
Korban keracunan bukan sekadar angka. Mereka anak-anak --- yang mestinya belajar, malah sakit.
Kepercayaan publik pun goyah. Jika orang tua takut anaknya ikut MBG, program ini bisa kehilangan legitimasi.
Lebih jauh lagi: gagal memberi makan aman berarti gagal melindungi generasi. Itu jauh lebih mahal ketimbang anggaran yang digelontorkan.
Apa yang Harus Dilakukan?
Program ini jangan dibubarkan. Justru harus diselamatkan. Caranya?
- Audit menyeluruh semua SPPG dan rantai pasokan. Hentikan sementara pelaksanaan di daerah yang bermasalah sampai perbaikan tuntas.
- Pengawasan independen melibatkan pakar gizi, BPOM, perguruan tinggi, dan masyarakat sipil. Jangan hanya pemerintah yang menilai pekerjaannya sendiri.
- Sertifikasi dan pelatihan ulang bagi seluruh dapur dan pemasok. Seperti restoran: siapa tidak lolos uji higienitas, tidak boleh masak.
- Inspeksi rutin dan sidak mendadak. Anak-anak tidak bisa menunggu SOP dibenahi di atas kertas.
- Keterlibatan komunitas sekolah: guru, orang tua, komite sekolah harus ikut mengawasi. Anak-anak pun bisa dilibatkan memberi umpan balik: apakah makanan enak, masih segar, atau mencurigakan.
- Eksperimen model lain: sebagian daerah bisa mencoba skema voucher gizi atau dana tunai yang dikelola sekolah, dengan pengawasan ketat. Ini memberi fleksibilitas sekaligus tanggung jawab lebih dekat dengan komunitas.