Oleh: Mahar Prastowo
Saya membaca berita itu sambil menghela napas. Bukan karena geli, bukan pula karena kasihan, tapi lebih karena: ini potret telanjang tentang kita, tentang negeri ini, tentang pasar kerja yang sudah lama pincang.
Judul di Kompas itu sederhana: Sarjana nyebur selokan demi jadi PPSU, Pramono: Syaratnya cuma SD.
Bukan satire, bukan lelucon. Tapi realitas di Jakarta, kota megapolitan, ibu kota negara, di mana seorang lulusan S1 Akuntansi---yang secara teori harusnya duduk di balik meja, mengatur neraca laba rugi, menyiapkan laporan pajak---justru berlomba ikut seleksi petugas PPSU. Pekerjaan yang selama ini identik dengan menyapu jalan, mengorek sampah got, dan berjibaku dengan bau selokan.
Dan jumlahnya bukan satu dua. Ada Nabila, ada Febrina, ada Musarotun. Semuanya sarjana. Semuanya perempuan. Semuanya rela nyemplung selokan---bukan demi tantangan atau rasa sosial, tapi demi kepastian gaji Rp5,3 juta per bulan plus THR dan jaminan sosial. Lebih besar dan lebih stabil daripada gaji entry-level di banyak kantor swasta.
Apa yang membuat para sarjana ini rela "turun kasta"?
Karena hidup harus dibayar tunai. Tagihan listrik tak mau tahu gelar sarjana. Kontrakan tak peduli apakah kita pernah diwisuda. Sekolah anak-anak hanya tahu: SPP bulan ini dibayar atau tidak.
Itulah kenyataannya.
Gelar sarjana memang masih jadi kebanggaan. Tapi kebanggaan saja tidak bisa disetor ke kasir warung. Tidak bisa menunda penagihan. Dan pasar kerja tak lagi ramah. Pekerjaan sesuai ijazah susah dicari, gajinya sering tak cukup untuk hidup layak di Jakarta.
Sementara PPSU? Meski hanya mensyaratkan ijazah SD, pekerjaannya pasti, gajinya memadai, dan yang paling penting: ada di depan mata, bukan sekadar harapan kosong.
Di mana yang salah?