Bukan salah Musarotun yang rela nyemplung got. Bukan juga salah Pemprov DKI yang membuka lowongan. Yang salah: kita---negara, sistem pendidikan, dan masyarakat---yang terlalu lama percaya ijazah adalah segalanya.
Kampus terus mencetak ribuan sarjana akuntansi, manajemen, dan komunikasi setiap tahun, padahal lowongan baru tak bertambah signifikan. Kita terlalu lama membanggakan gelar, tapi lupa bertanya: *apa yang sebenarnya dibutuhkan dunia kerja?*
Pendidikan kita terlalu lama diam, dunia berubah terlalu cepat
Dulu, jadi sarjana seolah tiket menuju masa depan. Sekarang, jadi sarjana justru tiket antrean panjang di loket pengangguran terbuka.
Bukan berarti pendidikan tinggi tak penting. Tapi gelar tanpa keahlian praktis hanyalah kertas. Dunia kerja hari ini menuntut skill: digital marketing, data analytics, desain UI/UX, coding, reparasi, kuliner, hingga keahlian berbicara di depan kamera. Semua yang tak diajarkan di ruang kuliah konvensional.
Kampus sering terjebak di ruang kelas, sementara pekerjaan ada di lapangan.
Apa yang lebih baik?
Barangkali sekarang saatnya kita jujur: bukan semua orang harus kuliah S1.
Lebih baik memilih jalur vokasi, politeknik, atau sekolah tinggi terapan yang mengajarkan keahlian nyata. Lebih baik punya sertifikasi pajak, digital marketing, project management, atau kursus intensif skill digital, daripada gelar sarjana semata.
Pekerjaan masa depan juga berubah. Banyak profesi baru yang tak butuh ijazah, tapi butuh portfolio dan keterampilan. Freelancer desain grafis, editor video, content creator, programmer, social media specialist, teknisi perbaikan. Semua lebih mengandalkan skill nyata daripada gelar panjang.
Bagaimana dengan pemerintah?