Mohon tunggu...
Mahar Prastowo
Mahar Prastowo Mohon Tunggu... Ghostwriter | PR | Paralegal

Praktisi Media dan co-PR -- Pewarta di berbagai medan sejak junior sekira 31 tahun lalu. Terlatih menulis secepat orang bicara. Sekarang AI ambil alih. Tak apa, bukankah teknologi memang untuk mempermudah? Quotes: "Mengubah Problem Menjadi Profit" https://muckrack.com/mahar-prastowo/articles

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Remaja, Jilbab, dan Air Wudhu: Catatan dari Karang Agung Ilir

2 Juni 2025   17:57 Diperbarui: 2 Juni 2025   17:57 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Mahar Prastowo

Ahad pagi itu, jalan desa Karang Sari tampak lebih ramai dari biasanya. Ada iring-iringan remaja putri berkerudung rapi, sebagian menggandeng adik, sebagian lagi menenteng buku catatan kecil. Bukan, ini bukan pawai. Mereka hendak ikut seminar keputerian di Masjid Miftahul Huda. Temanya agak serius: Thoharoh dan Berpakaian Syar'i. Tapi jangan buru-buru membayangkan suasana tegang seperti ruang sidang. Ternyata justru banyak canda---dan beberapa kisah malu-malu---terjadi di dalam.

Ustadzah Nasipah memulai dengan pertanyaan yang menggelitik: "Siapa di sini yang masih bingung membedakan najis mughaladzah dan mutawassithah?"
Beberapa remaja saling pandang. Ada yang cekikikan pelan, ada yang pura-pura sibuk menulis.
Saya jadi ingat zaman SMP. Pelajaran fikih itu kadang lebih horor dari matematika.

Tapi pagi itu tidak ada horor. Yang ada justru kehangatan.
"Usia baligh itu bukan cuma tubuh yang berubah, tapi juga tanggung jawab," kata Ustadzah Nasipah.
Ia bukan sedang memberi ceramah dari podium tinggi, tapi lebih seperti seorang kakak perempuan yang mengingatkan dengan pelan tapi dalam. Dan saya mencatat satu hal penting: di zaman yang serba cepat dan permisif ini, remaja justru haus akan panduan yang membumi.

Peserta seminar keputrian (foto:dok Panitia)
Peserta seminar keputrian (foto:dok Panitia)


Masuk sesi berikutnya, giliran Ustadzah Helly bicara soal busana syar'i. "Syar'i itu bukan kuno. Ia bisa anggun, bisa lembut, bisa modern. Tapi ia harus patuh," katanya sambil menunjukkan padupadan hijab dan gamis yang modis juga. Tidak lebay. Tidak norak. Tidak pula mengorbankan prinsip.

Ia bahkan bilang, "Kalau awalnya tidak nyaman, itu wajar. Namanya juga latihan. Tapi lama-lama akan terasa ringan. Seperti wudhu sebelum subuh."
Saya tersenyum. Karena memang benar. Dulu pun saya merasa wudhu sebelum subuh seperti membasuh tangan dengan es batu. Tapi sekarang, justru itu yang paling saya rindukan saat safar.

Acara makin hidup ketika Ustadzah Netri maju dengan tips berpakaian syar'i yang tetap fashionable.
"Warna itu penting. Jangan semua pastel. Jangan semua gelap. Campur. Mainkan bahan juga. Tapi yang utama: percaya diri."
Para peserta langsung berebut bertanya: "Kalau model plisket boleh? Kalau motif bunga gimana?"
Diskusi yang semula tampaknya akan kaku, ternyata hangat seperti arisan ibu-ibu, tapi lebih tertata.

Ketua PC LDII Karang Agung Ilir, Mochamad Zaka, dalam sambutannya ada kecemasan, nada orang tua yang penuh kekhawatiran.
"Kami ini sedang melawan tsunami gaya hidup. Maka kami perlu bikin tanggul. Dan tanggulnya ya ini: pembinaan dari kecil."
Saya bayangkan ucapan itu sebagai metafora yang tepat. Karena di zaman sekarang, godaan itu datang lewat layar 6 inci, 24 jam tanpa henti.

Zaka juga bicara soal pentingnya membina remaja bukan hanya soal pakaian, tapi karakter. Karena dari situlah terbentuk keluarga. Dari keluarga---bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun