Mohon tunggu...
Mahar Prastowo
Mahar Prastowo Mohon Tunggu... Ghostwriter | PR | Paralegal

Praktisi Media dan co-PR -- Pewarta di berbagai medan sejak junior sekira 31 tahun lalu. Terlatih menulis secepat orang bicara. Sekarang AI ambil alih. Tak apa, bukankah teknologi memang untuk mempermudah? Quotes: "Mengubah Problem Menjadi Profit" https://muckrack.com/mahar-prastowo/articles

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jeda di TPS 28

28 Mei 2025   23:14 Diperbarui: 28 Mei 2025   23:26 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kata "rekonstruksi" jadi masalah. Menurut pengadu---yang tak lain adalah suami Ketua KPPS tadi---itu bukan wewenang mereka. Itu kerja penyidik, bukan pengawas pemilu. Maka muncullah laporan ke DKPP: tuduhan pelampauan wewenang dan sikap tidak profesional.

Tapi Ahmad dan Prayogo punya narasi sendiri. "Itu bukan rekonstruksi dalam arti KUHAP," kata Prayogo di sidang. "Itu penelusuran. Bagian dari metode pengawasan yang sah." Mereka tidak sedang menyidik. Tidak sedang menetapkan siapa bersalah. Mereka hanya melakukan klarifikasi. Di lapangan. Dengan pihak terkait.

Lalu soal penghitungan suara yang dihentikan, itu juga mereka bantah. Saat mereka datang, memang sedang jeda. Dan itu bukan karena mereka. Tapi karena surat suara yang ganjil tadi. KPPS sendiri yang menunda. Bukan Bawaslu. "Kami tidak intervensi," kata mereka.

Dan lagi, mereka tidak sendiri. Salah satu unsur Sentra Gakkumdu hadir di sana. Polisi. Bukan untuk menyidik. Tapi ikut mendengarkan. Mengumpulkan informasi. Sebagai lembaga. Bukan individu.

---

Saya tidak tahu siapa yang akhirnya akan dimenangkan DKPP. Tapi saya tahu satu hal: dalam dunia pengawasan, sering kali batas antara tegas dan terlalu jauh itu sangat tipis. Dan kadang, yang menilai bukan lapangan. Tapi ruang sidang yang tenang, ber-AC, dan tidak gaduh seperti TPS-TPS di ujung Jakarta Timur itu.

Sidang ini bukan hanya tentang dua orang petugas pengawas pemilu tingkat kota atau komisioner bawaslu kota. Tapi tentang siapa yang berhak melakukan apa, dan bagaimana mengimplementasikan peraturan perundangan, membuat keputusan di lapangan yang tidak selalu tunduk pada waktu, dokumen, dan ketentuan yang tersusun rapi.

Sementara publik? Mungkin tak terlalu peduli siapa yang benar. Tapi mereka ingin tahu satu hal: surat suara itu, yang 18 lembar itu, akhirnya dihitung atau tidak?

(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun