Statistik Tak Pernah Berbohong
Data Polda Metro Jaya menunjukkan: 670 laporan premanisme masuk hanya dalam 4 bulan pertama tahun ini.
Artinya, setiap hari ada lebih dari lima laporan. Dan itu hanya yang tercatat. Yang tidak? Bisa berkali-kali lipat.
Dalam survei Litbang Kompas 2024, indeks rasa aman warga Jakarta turun ke 68,7 poin dari 72,4 dua tahun sebelumnya. Salah satu penyebab utamanya: pungli, intimidasi, dan kekerasan jalanan. Nama lainnya: premanisme.
Jadi ketika ormas-ormas ini berkata "kami menolak premanisme", publik akan bertanya balik: "Kapan kalian mulai?"
Dua Jakarta: Satu di Panggung, Satu di Lapangan
Saya mengenal beberapa ormas yang hadir. Ada yang betul-betul sosial. Ada yang memang aktif membina anak muda. Tapi saya juga tahu ada yang---maaf---selama ini justru menjadi aktor penting dalam distribusi ketakutan.
Dan saya juga terlibat dalam pembinaan ormas melalui program Pelayaran Bela Negara Kemhan RI, membawa mereka mengapung satu bulan di atas laut lepas, tanpa sinyal hp dan tanpa koneksi internet, serba terbatas, dan melihat mereka yang biasanya garang, menangis kangen emak, kangen anak istri, kangen daratan.
Jakarta punya dua wajah. Satu di panggung. Satu di lapangan.
Di panggung, semua ormas adalah pahlawan.
Di lapangan, beberapa menjadi penagih proyek, pengatur lapak, bahkan penghalang negara.
Deklarasi ini akan jadi berharga jika wajah di panggung dan lapangan mulai menyatu. Jika bukan hanya berani menolak premanisme, tapi juga menolak jadi bagian dari sistemnya.
Ormas dan Jalan Sunyi Reformasi
Saya percaya, tidak semua ormas buruk. Apalagi hanya karena ada oknum anggotanya berperilaku buruk. Inilah mengapa saya katakan kita harus bedakan antara ormas dan oknumnya.
Meski kita juga tahu, kekuatan sosial seringkali tergoda menjadi kekuatan ekonomi. Dan ketika ekonomi bercampur kekuasaan, premanisme tumbuh subur.