Mohon tunggu...
Mahar Prastowo
Mahar Prastowo Mohon Tunggu... Ghostwriter | PR | Paralegal

Praktisi Media dan co-PR -- Pewarta di berbagai medan sejak junior sekira 31 tahun lalu. Terlatih menulis secepat orang bicara. Sekarang AI ambil alih. Tak apa, bukankah teknologi memang untuk mempermudah? Quotes: "Mengubah Problem Menjadi Profit" https://muckrack.com/mahar-prastowo/articles

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Jakarta dan Para Ormasnya: Deklarasi Melawan Diri Sendiri

23 Mei 2025   03:22 Diperbarui: 23 Mei 2025   04:24 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jakarta dan Para Ormasnya: Deklarasi Melawan Diri Sendiri (Foto: Dani Prasetya)


Hotel Menara Peninsula, Kamis pagi yang biasa. Lalu tiba-tiba jadi tidak biasa.

Satu per satu para ketua ormas berdatangan. Mengenakan batik, jas, kopiah, hingga ikat kepala khas daerah. Dari ujung barat Jakarta, sampai ujung timur Indonesia. Melewati gerbang putar hotel, masuk ruang pertemuan yang dingin oleh pendingin dan dingin pula oleh sejarah panjang: tentang Jakarta dan ormas-ormasnya.

Saya tidak dapat hadir, karena sedang menjadi nara sumber sosialisasi tentang premanisme di Polres Jakarta Timur. Tapi ada rekan saya di sana, dari foto yang dikirim, dia duduk di baris belakang. Fotonya menampakkan punggung para peserta. Bukan karena tidak diundang, tapi karena dia ingin mendengar seperti rakyat biasa. Saya dulu ketika di komunitas Tenis, acapkali berkegiatan di hotel ini, karena pemilik hotel adalah ketua umum PELTI.

Hari itu, 22 Mei 2025, saya mencatat sebuah momen langka: 29 ormas mendeklarasikan perang terhadap premanisme. Judulnya megah: Bersama Lawan Premanisme untuk Jakarta yang Lebih Aman dan Beradab.

Tapi saya tahu, ini bukan deklarasi biasa. Ini seperti menyatakan perang terhadap diri sendiri. Sebab sebagian dari ormas itu---atau oknum di dalamnya---selama ini dikenal publik bukan hanya sebagai penjaga keamanan lingkungan. Tapi juga "penjaga proyek", "pengatur pasar", dan dalam bahasa warga: "preman berseragam organisasi."

Saya Tahu, Anda Tahu

Jakarta adalah kota yang keras. Tapi kekerasannya tidak datang dari alam. Ia datang dari manusia. Dan sebagian manusia itu memakai bendera ormas.

Di pasar-pasar, proyek-proyek pemerintah, bahkan dalam urusan parkir, ada tangan-tangan tak kasat mata yang minta jatah. Kadang pakai alasan adat, kadang pakai nama kebesaran organisasi. Polisi tahu. Wartawan tahu. Pedagang apalagi.

Jadi, ketika mereka berdiri satu panggung dan bersumpah menolak premanisme, saya mencium aroma yang tidak biasa: apakah ini pertobatan massal? Atau hanya kosmetik sosial?

Komitmen yang Dibacakan Seperti Doa

Kombes Pol Harry Muharram Firmansyah dari Polda Metro Jaya berdiri paling depan. Ia tidak hanya memimpin deklarasi. Ia memimpin harapan.

Teks dibacakan bersama:
1. Menolak dengan tegas segala bentuk aksi premanisme.
2. Mendukung tindakan Polri dalam pemberantasan premanisme.
3. Siap melaporkan jika melihat aksi premanisme.


Mereka lalu menyanyikan "Padamu Negeri" dengan suara gemuruh. Lalu foto bersama. Lalu makan siang.

Saya tahu, deklarasi bisa selesai dalam dua jam. Tapi premanisme? Tak selesai dalam dua dekade.

Statistik Tak Pernah Berbohong

Data Polda Metro Jaya menunjukkan: 670 laporan premanisme masuk hanya dalam 4 bulan pertama tahun ini.
Artinya, setiap hari ada lebih dari lima laporan. Dan itu hanya yang tercatat. Yang tidak? Bisa berkali-kali lipat.

Dalam survei Litbang Kompas 2024, indeks rasa aman warga Jakarta turun ke 68,7 poin dari 72,4 dua tahun sebelumnya. Salah satu penyebab utamanya: pungli, intimidasi, dan kekerasan jalanan. Nama lainnya: premanisme.

Jadi ketika ormas-ormas ini berkata "kami menolak premanisme", publik akan bertanya balik: "Kapan kalian mulai?"

Dua Jakarta: Satu di Panggung, Satu di Lapangan

Saya mengenal beberapa ormas yang hadir. Ada yang betul-betul sosial. Ada yang memang aktif membina anak muda. Tapi saya juga tahu ada yang---maaf---selama ini justru menjadi aktor penting dalam distribusi ketakutan.

Dan saya juga terlibat dalam pembinaan ormas melalui program Pelayaran Bela Negara Kemhan RI, membawa mereka mengapung satu bulan di atas laut lepas, tanpa sinyal hp dan tanpa koneksi internet, serba terbatas, dan melihat mereka yang biasanya garang, menangis kangen emak, kangen anak istri, kangen daratan.

Jakarta punya dua wajah. Satu di panggung. Satu di lapangan.

Di panggung, semua ormas adalah pahlawan.

Di lapangan, beberapa menjadi penagih proyek, pengatur lapak, bahkan penghalang negara.

Deklarasi ini akan jadi berharga jika wajah di panggung dan lapangan mulai menyatu. Jika bukan hanya berani menolak premanisme, tapi juga menolak jadi bagian dari sistemnya.

Ormas dan Jalan Sunyi Reformasi

Saya percaya, tidak semua ormas buruk. Apalagi hanya karena ada oknum anggotanya berperilaku buruk. Inilah mengapa saya katakan kita harus bedakan antara ormas dan oknumnya.

Meski kita juga tahu, kekuatan sosial seringkali tergoda menjadi kekuatan ekonomi. Dan ketika ekonomi bercampur kekuasaan, premanisme tumbuh subur.

Tapi Jakarta hari ini sedang berubah. Jalan-jalan lebih terang. Warga lebih berani bersuara. Polisi lebih aktif. Mungkin inilah saatnya ormas juga berubah: dari "penjaga lahan" menjadi penjaga nilai.

Kita tidak bisa menuntut mereka sempurna. Tapi saya ingin satu saja: jika kalian sudah menyatakan perang terhadap premanisme, mulailah dari rumah sendiri.

Catatan Terakhir dari Belakang Ruang

Saat acara selesai dari memberikan pembekalan untuk Satlinmas di Polres Jakarta Timur, tempat seminggu lalu juga ada deklarasi serupa, saya berjalan-jalan melintasi pedestrian. Di trotoar, depan hotel, depan pasar, dan pusat keramaian lainnya tukang parkir liar masih sibuk memungut uang. Di ujung jalan, pengemudi ojol ribut dengan "pengatur wilayah".

Deklarasi di dalam hotel, di dalam aula polres, belum sampai ke jalan. Tapi mungkin nanti.

Kita percaya, perubahan itu tidak harus revolusi. Kadang cukup dimulai dengan satu kesadaran: bahwa kekuatan sejati bukan saat kau ditakuti, tapi saat kau bisa dipercaya.

Dan itu---di Jakarta yang gaduh ini---masih sangat langka.

_________
Mahar Prastowo
Jurnalis independen. Menulis dari lorong sunyi Jakarta.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun