Saya masih duduk di bangku SMA ketika Jakarta terbakar. Bukan terbakar secara kiasan, tapi benar-benar terbakar. Toko-toko dijarah. Mobil-mobil hangus. Gedung-gedung rontok seperti bendera yang dilucuti. Tapi semua itu terjadi jauh di sana---di ibu kota. Saya di Magelang, sebuah kota kecil di jantung Jawa Tengah yang tenang dan berangin. Namun, ketegangan itu menembus gunung dan sungai, menyusup lewat siaran TVRI yang mendadak membisu, dan koran yang halaman depannya bau bensin.
Saya masih ingat, hari itu Kamis. Pelajaran Sejarah. Guru sedang menjelaskan Perang Diponegoro. Tiba-tiba kepala sekolah masuk kelas dengan wajah tegang. Mengumumkan bahwa sekolah diliburkan sampai waktu yang belum ditentukan. "Jakarta darurat," katanya, dengan nada seperti membacakan firman.Â
Kami pun bubar seperti anak-anak bebek yang kehilangan induk.Saya tidak langsung pulang.Â
Seperti biasa, saya dan beberapa teman yang rumahnya jauh menginap di sekolah. Ada teman sebangku saya, Mustofa, anak Ambarawa. Ia khawatir tak bisa pulang, angkutan banyak yang mogok. Kami sepakat menginap di sekolah. Ada juga kakak kelas, Wardoyo, rumahnya di Ngablak---di kaki Gunung Telomoyo, dan Warsono dari Temanggung.Â
Kepala sekolah, Pak Sumardjo, mengizinkan kami menempati aula besar sebesar dua ruang kelas. Aula itu disekat untuk ruang laboratorium dan UKS. Ada dua ranjang di sana, dan kami menggunakan matras olahraga senam lantai sebagai kasur.
Jarak ke terminal Grabag sekitar 5 kilometer dari sekolah, sekali naik angkot. Kami biasa pergi ke terminal kalau ingin beli koran pagi di lapak Bang Surya, yang buka habis Subuh sampai jam 5 sore. Di sana, di kaki Gunung Andong, pagi hari terasa menggigit. Jika bicara, uap keluar dari mulut, seperti napas naga yang lelah. Magelang memang sejuk, tapi saat itu terasa seperti negeri asing yang diselimuti kekhawatiran.Â
Bang Surya, orang Batak Muslim yang santunnya seperti orang Jawa, sering berbincang panjang lebar tentang isi koran. Saya biasa membeli satu eksemplar, tapi membaca lima, untuk mencari pembanding.
Jakarta Terbakar dari Jauh
Di layar kaca, Jakarta seperti kota tanpa kendali. Metro Mini dibakar. Gedung Yogya Department Store jadi arang. Di Glodok, asap tak berhenti naik seperti dupa sembahyang. Tapi ini bukan ritual. Ini amarah yang kehilangan saluran.
Saya sempat pulang ke rumah, menyelinap lewat belakang sekolah dan berjalan kaki sekitar 45 menit menuruni jalan terjal, menaiki bukit, dan turun lagi melalui dua perkampungan. Saat sampai rumah, ibu menyambut saya dengan pelukan diam.Â