Mohon tunggu...
Mahar Prastowo
Mahar Prastowo Mohon Tunggu... Ghostwriter | PR | Paralegal

Praktisi Media dan co-PR -- Pewarta di berbagai medan sejak junior sekira 31 tahun lalu. Terlatih menulis secepat orang bicara. Sekarang AI ambil alih. Tak apa, bukankah teknologi memang untuk mempermudah? Quotes: "Mengubah Problem Menjadi Profit" https://muckrack.com/mahar-prastowo/articles

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Matahari Tak Terbit di Wilayah Preman

11 Mei 2025   16:46 Diperbarui: 11 Mei 2025   16:46 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapolda Metro Jaya pada Apel di Monas, 9 Mei 2025. (Foto:dok)

Oleh: Mahar Prastowo

Saya masih ingat ketika pertama kali melihat preman di terminal. Waktu itu saya masih sekolah, dan preman masih identik dengan kaus ketat, tato di lengan, dan bau alkohol. Ia berdiri di depan pintu angkot, dan sopir tak bisa melaju sebelum sekeping uang logam berpindah tangan.

Itu tahun 1990-an.

Hari ini, preman tak selalu bertato. Tak selalu bau arak. Tak selalu bicara dengan keras. Kadang mereka datang memakai seragam organisasi, membawa surat kuasa yang dipalsukan, mengaku sebagai pengamanan lingkungan, atau berdalih menjaga budaya lokal. Kadang mereka lebih rapi dari aparat yang datang menertibkan.

Dan itulah yang kini coba disikat bersih oleh Polri lewat Operasi Berantas Jaya 2025.

Sapu Jagat dari Monas

Jumat pagi, 9 Mei 2025. Matahari sudah tinggi saat 999 personel gabungan berbaris di Lapangan Silang Monas Selatan. Angka yang nyaris simbolik: tiga angka sembilan. Seolah ini adalah peringatan terakhir. Setelah ini, tak ada kompromi. Tak ada negosiasi.

Kapolda Metro Jaya, Irjen Karyoto, berdiri di mimbar. Suaranya tak meninggi, tapi tegas. Kalimatnya ringkas, tanpa basa-basi: "Tidak ada toleransi. Tidak ada pengecualian."

Dari 663 anggota Polri, ditambah 306 TNI dan 30 dari Pemprov DKI, semuanya diminta "tidak ragu-ragu." Karena ini bukan lagi perkara kriminal kecil. Ini perkara stabilitas.

Premanisme kini tak hanya mengintimidasi warga. Ia menyandera rasa aman. Ia mengganggu pertumbuhan ekonomi. Ia menyusup ke balik bendera ormas, memakai tameng adat, bahkan kadang mengaku relawan sosial.

Operasi ini bukan hanya menyisir terminal, pasar, atau pinggir jalan. Tapi juga menyasar akun media sosial, informasi hoaks, jaringan digital yang menyamar sebagai "komunitas", padahal memeras lewat pesan WhatsApp.

Kapolri lewat telegram rahasia STR/1081/IV/OPS.1.3./2025 sudah memberi isyarat: ini bukan sekadar operasi kewilayahan. Ini adalah ujian konsistensi Polri. Bisakah mereka benar-benar membersihkan luka lama yang selama ini ditutup plester bernama "pendekatan humanis"?

Polisi tahu, memukul preman satu per satu hanya akan membuat mereka tumbuh lagi seperti jamur. Maka pendekatannya harus menyeluruh: hukum, intelijen, hingga narasi media. Inilah era di mana perang melawan preman bukan hanya soal pentungan, tapi juga soal kamera, data, dan opini publik.

Ormas Diingatkan, Ekonomi Dilindungi

Pernyataan Brigjen Trunoyudo, juru bicara Polri, terasa seperti palu godam: "Premanisme dalam bentuk apa pun yang mengganggu ketertiban masyarakat dan iklim usaha akan ditindak tegas."

Itu bukan kalimat biasa. Itu pesan yang bisa ditafsirkan banyak hal. Termasuk pada mereka yang selama ini merasa kebal hukum karena merasa dekat dengan elite.

Pernyataan itu juga mengandung satu sinyal penting: Polri tidak lagi semata-mata melindungi warga, tapi juga ekosistem ekonomi. Dari pedagang kaki lima hingga pengusaha besar. Karena tak ada investasi yang mau masuk ke wilayah yang masih ditakuti preman.

Dan lebih dari itu: negara tidak bisa kalah dengan tukang palak.

Apakah Berhasil?

Tentu ini belum bisa dijawab hari ini. Operasi Berantas Jaya baru berlangsung. Tapi keberhasilan bukan hanya diukur dari jumlah yang ditangkap. Keberhasilan justru akan diukur dari seberapa lama rasa aman itu bertahan.

Kalau dua bulan lagi pasar kembali dikuasai jagoan lokal, maka operasi ini gagal. Tapi kalau dua tahun dari sekarang anak sekolah bisa pulang malam tanpa takut dirampas HP-nya di kolong flyover, maka ini adalah kemenangan kecil yang layak dirayakan.

Dan Preman Selanjutnya...

Saya percaya, preman bukan hanya soal orang yang memalak. Tapi juga tentang mentalitas: ingin menang sendiri, ingin menguasai ruang tanpa otoritas, ingin mengambil bagian dari milik orang lain tanpa kerja keras.

Karena itu, perang melawan preman bukan hanya tugas polisi. Tapi tugas kita semua: untuk tidak memberi. Untuk tidak diam. Untuk tidak menyuburkan mereka lewat kompromi kecil yang kita anggap wajar.

Dan semoga suatu hari nanti, ketika anak-anak kita membaca sejarah, mereka akan menertawakan cerita ini: bahwa dulu, untuk masuk pasar saja, orang harus setor uang ke tukang parkir liar.

Dan saat itu tiba, mungkin polisi tak perlu operasi lagi.

Karena premanisme benar-benar sudah tak punya tempat.

Mahar Prastowo

Jurnalis yang percaya bahwa hukum tak boleh kalah oleh rasa takut.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun