Operasi ini bukan hanya menyisir terminal, pasar, atau pinggir jalan. Tapi juga menyasar akun media sosial, informasi hoaks, jaringan digital yang menyamar sebagai "komunitas", padahal memeras lewat pesan WhatsApp.
Kapolri lewat telegram rahasia STR/1081/IV/OPS.1.3./2025 sudah memberi isyarat: ini bukan sekadar operasi kewilayahan. Ini adalah ujian konsistensi Polri. Bisakah mereka benar-benar membersihkan luka lama yang selama ini ditutup plester bernama "pendekatan humanis"?
Polisi tahu, memukul preman satu per satu hanya akan membuat mereka tumbuh lagi seperti jamur. Maka pendekatannya harus menyeluruh: hukum, intelijen, hingga narasi media. Inilah era di mana perang melawan preman bukan hanya soal pentungan, tapi juga soal kamera, data, dan opini publik.
Ormas Diingatkan, Ekonomi Dilindungi
Pernyataan Brigjen Trunoyudo, juru bicara Polri, terasa seperti palu godam: "Premanisme dalam bentuk apa pun yang mengganggu ketertiban masyarakat dan iklim usaha akan ditindak tegas."
Itu bukan kalimat biasa. Itu pesan yang bisa ditafsirkan banyak hal. Termasuk pada mereka yang selama ini merasa kebal hukum karena merasa dekat dengan elite.
Pernyataan itu juga mengandung satu sinyal penting: Polri tidak lagi semata-mata melindungi warga, tapi juga ekosistem ekonomi. Dari pedagang kaki lima hingga pengusaha besar. Karena tak ada investasi yang mau masuk ke wilayah yang masih ditakuti preman.
Dan lebih dari itu: negara tidak bisa kalah dengan tukang palak.
Apakah Berhasil?
Tentu ini belum bisa dijawab hari ini. Operasi Berantas Jaya baru berlangsung. Tapi keberhasilan bukan hanya diukur dari jumlah yang ditangkap. Keberhasilan justru akan diukur dari seberapa lama rasa aman itu bertahan.
Kalau dua bulan lagi pasar kembali dikuasai jagoan lokal, maka operasi ini gagal. Tapi kalau dua tahun dari sekarang anak sekolah bisa pulang malam tanpa takut dirampas HP-nya di kolong flyover, maka ini adalah kemenangan kecil yang layak dirayakan.