Ransel di Usia Senja
Di usia pensiun, mereka pergi Â
Menjemput fajar di Santorini, Â
Menyesap teh di Uji yang sunyi, Â
Berdua, bergandeng tangan, tanpa janji kerja menanti.
Langkah ringan tak dikejar waktu, Â
Tak diburu rapat atau tanda tangan yang membeku. Â
Mereka tertawa di kafe jalanan, Â
Menikmati langit, bukan sinyal jaringan.
...
Sedang aku, Â
Kesana kemari, bukan wisata tapi tugas, Â
Bukan hotel manis, tapi ruang diskusi yang panas, Â
Bukan obrolan ringan, tapi target yang keras.
Apalagi ketika bertugas di medan perang penuh konflik, Â
Salah langkah, kita bisa jadi statistik, Â
Pernah kulihat dua jurnalis Rusia tewas di tanah asing, Â
Saat lensa mereka mencari kebenaran yang dingin.
Tak ada kesan ceria di sana, Â
Hanya debu, darah, dan duka yang membahana. Â
Tapi di sanalah, kemanusiaan diuji, Â
Kepekaan diasah, nurani berlari.
Dari Kabul ke Islamabad, Â
Dari Dhaka hingga ke desa-desa sunyi di Afrika Tengah yang penuh derita, Â
Aroma mayat hangus masih menempel di hidung ini, Â
Tak lekang meski bertahun pergi.
Aceh yang basah air mata, Â
Poso yang gemetar oleh kebencian lama, Â
Timor Timur yang luka, Â
Ambon yang patah---semua menyimpan cerita.
Ada luka lain yang diam-diam menganga, Â
Kubersua hutan-hutan yang tinggal nama, Â
Gunung yang dikeruk tanpa jeda, Â
Sungai yang berubah warna, Â
Karena tambang-tambang rakus mengoyak bumi pertiwi dari Sabang sampai Merauke.
Kulihat anak-anak bermain di air keruh beracun, Â
Ibu-ibu menanak nasi dengan air yang mengandung lumpur dan logam berat, Â
Dan aku hanya bisa mencatat--- Â
Tapi tak cukup kata untuk menambal yang telah hilang dari alam semesta kita.
Aku lihat gunung Fuji dari jendela kereta, Â
Tapi tak ada tangan istri menggamit cerita. Â
Aku lewati Champs-lyses malam hari, Â
Tapi bukan bulan madu, hanya jet lag yang abadi.