Mohon tunggu...
Mahar Prastowo
Mahar Prastowo Mohon Tunggu... Ghostwriter | PR | Paralegal

Praktisi Media dan co-PR -- Pewarta di berbagai medan sejak junior sekira 31 tahun lalu. Terlatih menulis secepat orang bicara. Sekarang AI ambil alih. Tak apa, bukankah teknologi memang untuk mempermudah? Quotes: "Mengubah Problem Menjadi Profit" https://muckrack.com/mahar-prastowo/articles

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ransel di Usia Senja

14 April 2025   17:54 Diperbarui: 14 April 2025   17:54 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ransel di Usia Senja

Di usia pensiun, mereka pergi  
Menjemput fajar di Santorini,  
Menyesap teh di Uji yang sunyi,  
Berdua, bergandeng tangan, tanpa janji kerja menanti.

Langkah ringan tak dikejar waktu,  
Tak diburu rapat atau tanda tangan yang membeku.  
Mereka tertawa di kafe jalanan,  
Menikmati langit, bukan sinyal jaringan.

...


Sedang aku,  
Kesana kemari, bukan wisata tapi tugas,  
Bukan hotel manis, tapi ruang diskusi yang panas,  
Bukan obrolan ringan, tapi target yang keras.

Apalagi ketika bertugas di medan perang penuh konflik,  
Salah langkah, kita bisa jadi statistik,  
Pernah kulihat dua jurnalis Rusia tewas di tanah asing,  
Saat lensa mereka mencari kebenaran yang dingin.

Tak ada kesan ceria di sana,  
Hanya debu, darah, dan duka yang membahana.  
Tapi di sanalah, kemanusiaan diuji,  
Kepekaan diasah, nurani berlari.

Dari Kabul ke Islamabad,  
Dari Dhaka hingga ke desa-desa sunyi di Afrika Tengah yang penuh derita,  
Aroma mayat hangus masih menempel di hidung ini,  
Tak lekang meski bertahun pergi.

Aceh yang basah air mata,  
Poso yang gemetar oleh kebencian lama,  
Timor Timur yang luka,  
Ambon yang patah---semua menyimpan cerita.

Pemandangan aktifitas tambang dari pesawat rute Samarinda-Berau Kaltim. (foto:dokpri)
Pemandangan aktifitas tambang dari pesawat rute Samarinda-Berau Kaltim. (foto:dokpri)
Dan di antara semua itu,  
Ada luka lain yang diam-diam menganga,  
Kubersua hutan-hutan yang tinggal nama,  
Gunung yang dikeruk tanpa jeda,  
Sungai yang berubah warna,  
Karena tambang-tambang rakus mengoyak bumi pertiwi dari Sabang sampai Merauke.

Kulihat anak-anak bermain di air keruh beracun,  
Ibu-ibu menanak nasi dengan air yang mengandung lumpur dan logam berat,  
Dan aku hanya bisa mencatat---  
Tapi tak cukup kata untuk menambal yang telah hilang dari alam semesta kita.

Aku lihat gunung Fuji dari jendela kereta,  
Tapi tak ada tangan istri menggamit cerita.  
Aku lewati Champs-lyses malam hari,  
Tapi bukan bulan madu, hanya jet lag yang abadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun