Pada bait keempat, penyair menggunakan metafora gerak untuk melukiskan keberadaan yang berpindah tanpa rasa bersalah:Â
//loncat sana loncat sini //dari satu pelukan ke pelukan lain//. Ini bukan sekadar gambaran tindakan, tapi pernyataan:Â jika ini caraku hidup, siapa kalian yang berhak mengadili?
Bait terakhir menghadirkan semacam paradoks eksistensial: kepasrahan yang sekaligus penegasan kendali.Â
//kalau memang aku senang //kamu tak perlu peduli// adalah ekspresi kebebasan yang pahit---sekaligus tamparan pada masyarakat yang gemar sibuk mengatur hidup orang lain sembari abai pada kekacauan dirinya sendiri.
***
Refleksi: Cermin itu Bernama Puisi
Puisi pendek ini, meski berani dan frontal, justru mengajak kita menyelami kompleksitas manusia: tubuh, stigma, kebebasan, dan perlawanan diam. Penyair muda ini (versi 2013) bukan sedang mengajak kita menerima gaya hidup tertentu, tapi memancing perenungan: siapa yang sesungguhnya memelihara moralitas: perempuan yang menantang dunia, atau dunia yang selalu mencibir perempuan?
Saya tutup dengan satu refleksi:Â
Barangkali kita tak sedang membaca puisi lonte, melainkan sedang berdiri di depan cermin---dan melihat diri kita di balik larik-larik tajam itu.
***
Tentang penulis:
M Sanantara, lahir di Bogor, 650 SM. Sarjana botani, penikmat dosa, lukisan impresionisme, dan berpuisi di mana saja---asal bukan di alam kubur.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI