Kebaikan yang dibagikan ke publik luas sering kali lupa pulang---melewatkan wajah---wajah yang setiap hari menyapa di gang rumah sendiri.
Saat sebuah video berisi aktivitas individu atau organisasi---baik yang berada di bawah naungan lembaga atau justru menjadi penanung gerakan sosial---dilempar ke publik, maka ia harus siap menerima serbuan komentar dari berbagai lapisan pandangan. Bagi sebagian orang, ini bisa menjadi bahan pembelajaran, kritik, atau bahkan bahan bakar debat. Tapi bagi sebagian lainnya, ini adalah pintu masuk menuju pertanyaan yang lebih dalam: siapa sebenarnya yang menerima manfaat dari kebaikan tersebut?
Begitulah ketika sebuah video kebaikan muncul di grup WhatsApp Alumni, misalnya. Ia bisa membuka diskusi yang menarik---tapi hanya bagi mereka yang ingin berpikir lebih jauh dari sekadar memberi pujian. Saya salah satunya.
Saya percaya, orang baik yang berbagi manfaat bukanlah monopoli mereka yang berlabel "baik" saja. Bahkan orang jahat pun bisa melakukannya. Karena yang dibagikan bisa berupa materi atau hal-hal immaterial: uang, makanan, motivasi, tutorial, dan lainnya. Maka, saya merasa perlu membedakan: bukan hanya "orang baik", tapi "orang bermanfaat"---yang keberadaannya membawa dampak. Entah karena niat, atau karena posisi.
Namun, ada satu hal yang membuat saya merenung: mengapa aksi kebermanfaatan justru sering menjauh dari lingkar terdekat?
Saya ambil contoh dari lingkungan sendiri, lingkup rukun tetangga. Dalam pengamatan saya---yang subjektif, tentu saja---mereka yang gemar berbagi justru lebih memilih lokasi atau sasaran yang jauh. Jangkauan wilayah turut menentukan siapa yang akhirnya merasakan dampaknya. Banyak yang tersentuh di luar sana---dan tentu itu patut diapresiasi. Tapi, bagaimana dengan yang lebih dekat? Yang setiap hari bertatap muka? Hidupnya masih tercekik dalam diam.
Yang lebih menyentuh sisi tragis justru ini: saya pernah menyaksikan seseorang yang rutin berbagi ke luar wilayah, padahal tetangganya sendiri adalah bagian dari keluarga besar. Satu darah. Satu atap dalam sejarah. Tapi tak pernah sejiwa dalam kebermanfaatan.
Sungguh ironi. Sungguh drama hidup yang tak tergambar dalam poster belasungkawa.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan sosial yang mendalam. Mengapa berbagi ke yang terdekat justru terasa lebih berat? Apakah karena malu? hubungan yang kusut? Atau kita lebih ingin kebaikan dikenang oleh banyak orang---dan bukan oleh mereka yang tahu siapa kita sebenarnya?
Mungkin kita lebih nyaman menjadi pahlawan di luar zona nyaman. Tak ada yang tahu aib kita di masa lalu. Tak ada yang menagih janji atau balas budi yang tak pernah lunas. Sementara tetangga? Mereka tahu segalanya. Barangkali itulah yang membuat kita menjauh.