In the end, we will remember not the words of our enemies, but the silence of our friends."
--- Martin Luther King Jr.
Langit Sudirman, kelabu. Jalan layang dijejali gelombang macet yang menolak landai di ujung simpulnya---Mercy, Kijang, Corolla, truk pengangkut TKW ilegal, dan klakson-klakson yang membisik ke pori jantung. Deru yang seperti doa dipaksakan terus hidup.
"Jangan lebih dari lima belas menit," gumamku pelan.
Aku takut Molly kelaparan. Cuaca di Bogor memburuk, dan hewan kecil seperti dia sangat peka terhadap tekanan udara. Dua kantong kue pancong hangat sudah kupersiapkan. Manis, empuk, kesukaannya.
...
Waktu masih sekolah menengah pertama, aku ingat betapa teman-temanku kegirangan saat ada guru baru datang---rambut panjang menjuntai, pakaian ketat, tinggi semampai. Tubuhnya seperti gitar Italia yang dipuja para pemuja hormon pubertas.
"Halo, anak-anak kesayanganku. How are you feeling today?" sapa Ibu Ayu.
Rendy langsung nyeletuk, "Luar biasa sungguh sehat dan bergizi, Bunda Ayu!"
Tak ada yang salah dengannya, bahkan kehadirannya semacam penanda bahwa birahiku berjalan normal. Yang membuatku gusar, adalah setiap kali dia mengajar tentang jaring-jaring dan rantai makanan.
Ia selalu berkata:
"Puncak predator tampak berkuasa. Tapi justru mereka sering tak berdaya saat sistem runtuh. Yang kecil, yang dianggap remeh, menjaga sirkulasi kehidupan."
Saat dia bicara soal rantai makanan, matanya agak terlalu tajam untuk seorang guru.Â
Seperti sedang menyusun taktik di balik papan catur.
Aku lebih suka prinsip kesetaraan. Benda hidup dan mati, semua punya nilai. Tidak ada yang seharusnya dimanfaatkan berlebihan, atau dikorbankan tanpa penghormatan.
...
Pukul 19:17. Rumah gelap. Biasanya Molly menyambutku---melompat, memutari kakiku, menampilkan gigi-giginya yang mungil dan manis seperti senyuman pertama seorang sahabat. Tapi kini, rumah terlalu senyap.
Kue pancong masih hangat saat aku duduk. Sejam. Dua jam. Tiga.
Hening seperti mendung yang tak kunjung hujan.
Pintu depan berderit pelan. Ibu masuk, membawa bau angin malam.
"Ron, kenapa belum masuk? Istirahat, nanti kamu sakit."
Aku menatap kue pancong. Sudah dingin. Hati pun begitu.
"Aku heran, Bu... ke mana Molly? Biasanya dia datang, melompat-lompat."
Ibu menarik napas panjang, ragu.
"Maaf, Nak. Ibu lupa kasih tahu. Siang tadi warga RT kita sempat heboh."
"Ada apa?"
"Selama bertahun-tahun, anjing peliharaan warga hilang tanpa jejak. Kadang ditemukan tinggal bangkai---tanpa kepala. Siang tadi, warga berhasil menangkap pelakunya."
"Hebat... siapa pelakunya?"
Ibu menatapku dalam-dalam.
"Korban terakhir yang ditemukan... adalah Molly. Anjing kesayanganmu."
Aku tidak menjawab. Kuletakkan kue pancong itu perlahan di lantai.
"Biarkan Roni sendiri malam ini, Bu."
Ibu mengangguk, menutup pintu.
...
Aku duduk. Tak bergerak. Waktu menancap seperti paku di pelipis.
Kusentuh piring itu. Masih ada remah hangat kasih sayang.
Kalau pelakunya bukan diamankan polisi...
Malam ini bisa saja ada darah lain menetes.
Tapi sekarang hanya satu yang menetes: air mataku. Tak bersuara. Tak berteriak.
Tangis bukan ledakan, tapi retakan perlahan dari balik dada.
"Molly..." bisikku. "Aku kehilanganmu."
...
Keesokan harinya, pikiranku belum rapi.
Istirahat pertama, kelas biologi mendadak diliburkan.
Aku bertanya pada Erina, teman sebangkuku.
"Er, kenapa pelajaran Biologi libur?"
"Yapzz. Baru tahu lo?"
"Belum. Emang kenapa?"
Dia mendekat, berbisik.
"Ibu Ayu ditangkap polisi. Kemarin."
"Apa?"
"Dia tertangkap menyimpan ratusan bangkai anjing di rumahnya. Sebagian dikubur... di bawah tempat tidurnya."
Aku diam.
Mulutku tercekat.
Satu kalimat muncul di benakku.
Â
Gitar Italia itu ternyata menyembunyikan ruang penyembelihan.
Senyumnya selama ini... hanya penutup bau darah.
Dan Molly, kini menjadi pelajaran terakhir... Â ~ms~
*
Tentang penulis:
M Sanantara, lahir di Bogor, 650 SM. Sarjana botani, penikmat dosa, lukisan impresionisme, dan berpuisi di mana saja, asal bukan di alam kubur.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI